Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Mahéng menulis di berbagai platform. Di Kompasiana, ia belajar menguleni isu-isu berat dengan adonan humor, kadang matang, sesekali gosong, adakalanya garing, dan nggak jarang absurd, persis seperti hidupnya sendiri. Intip X/IG @iamaheng.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pelajaran dari Balik Jamban: Koeksistensi Manusia dan Orangutan di Kalimantan

9 September 2025   21:15 Diperbarui: 9 September 2025   21:15 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susi bersama bayinya yang bernama Sinar di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak. (Sumber: Rudiansyah/IAR Indonesia)

Tahun 2011 ia diselamatkan oleh tim Yayasan IAR Indonesia. 

Butuh waktu bertahun-tahun untuk bikin dia ingat lagi cara hidup sebagai orangutan. Manjat, bikin sarang, cari makan. Itu adalah hal-hal yang mestinya bawaan lahir. Namun telah hilang karena terlalu lama hidup di rumah “orang kota” di Pontianak.

Lima tahun kemudian, Susi dilepas ke Hutan Lindung Gunung Tarak. Tahun 2020, ia bahkan melahirkan anak bernama Sinar. Kehadiran Sinar jadi simbol terang, bukti kalau luka panjang masih bisa melahirkan harapan. 

Susi bersama bayinya yang bernama Sinar di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak. (Sumber: Rudiansyah/IAR Indonesia)
Susi bersama bayinya yang bernama Sinar di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak. (Sumber: Rudiansyah/IAR Indonesia)

Sekarang ia sering mampir ke Camp Serumput. Kadang cuma lewat, kadang nongkrong di dekat dapur, kadang muncul di saat paling nggak diduga, termasuk depan jamban. 

Petugas patroli di camp memanggilnya Nenek.

Biasanya ia duduk sebentar lalu pergi lagi, mungkin sekadar memastikan manusia di camp masih ingat kalau hutan ini rumahnya juga. 

Orang Kota, Orangutan, dan Rebutan Lahan 

Kalau ceritanya berhenti di jamban, koeksistensi mungkin terdengar sederhana. Kenyataannya jauh lebih ruwet. 

Populasi orangutan di Ketapang kian berkurang, dan sebagian harus hidup berdampingan dengan kebun sawit, tambang, bahkan ladang.

Begitu makanan di hutan makin tipis, mereka turun cari alternatif. Dan alternatif itu ya kebun orang. Sama seperti kita kalau dompet lagi kosong, ujung-ujungnya ngintip mi instan di rak dapur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun