Tahun 2011 ia diselamatkan oleh tim Yayasan IAR Indonesia.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk bikin dia ingat lagi cara hidup sebagai orangutan. Manjat, bikin sarang, cari makan. Itu adalah hal-hal yang mestinya bawaan lahir. Namun telah hilang karena terlalu lama hidup di rumah “orang kota” di Pontianak.
Lima tahun kemudian, Susi dilepas ke Hutan Lindung Gunung Tarak. Tahun 2020, ia bahkan melahirkan anak bernama Sinar. Kehadiran Sinar jadi simbol terang, bukti kalau luka panjang masih bisa melahirkan harapan.
Sekarang ia sering mampir ke Camp Serumput. Kadang cuma lewat, kadang nongkrong di dekat dapur, kadang muncul di saat paling nggak diduga, termasuk depan jamban.
Petugas patroli di camp memanggilnya Nenek.
Biasanya ia duduk sebentar lalu pergi lagi, mungkin sekadar memastikan manusia di camp masih ingat kalau hutan ini rumahnya juga.
Orang Kota, Orangutan, dan Rebutan Lahan
Kalau ceritanya berhenti di jamban, koeksistensi mungkin terdengar sederhana. Kenyataannya jauh lebih ruwet.
Populasi orangutan di Ketapang kian berkurang, dan sebagian harus hidup berdampingan dengan kebun sawit, tambang, bahkan ladang.
Begitu makanan di hutan makin tipis, mereka turun cari alternatif. Dan alternatif itu ya kebun orang. Sama seperti kita kalau dompet lagi kosong, ujung-ujungnya ngintip mi instan di rak dapur.