Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Jurnalisme Digital: Perlawanan dan Masa Depan Kita

7 Januari 2016   15:33 Diperbarui: 24 Mei 2018   09:07 2162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang mendokumentasikan peristiwa penting yang sedang berlangsung. (sumber: brandwatch.com)

Andrew Keen, penulis buku The Cult of the Amatuer: How Today's Internet Is Killing Our Culture menegaskan bahwa dunia user generated content telah menghancurkan jurnalisme yang sejati dan masyarakat.

"Makin banyak lapisan antara penulis dan konten yang tayang, itu lebih baik. Karena itu berarti ada banyak penyuntingan, koreksi dan pengembangan," tulis Andrew yang secara tegas mengkategorikan pelaku user generated content sebagai amatir.

Tentu kita tak bisa menyalahkan Andrew begitu saja, meski ia memang salah. Sekian lama institusi media mainstream 'mendikte' kita apa konten yang layak dan tidak. Media tradisional cenderung tak ingin kehilangan kontrol dalam mendesiminasi dan mengolah informasi menjadi produk siap saji yang mereka anggap layak untuk masyarakat. Padahal, dari hari ke harikemampuan netizen dalam mengelola kualitas konten akan jauh lebih baik ketimbang media mainstream.

Orang seperti Andrew mencoba mendikte kita soal mana yang bisa disebut berita dan mana yang tidak. Dan semua itu digantungkan kepada para pribadi di dalam sebuah institusi bisnis. Sementara kita memperlakukan internet sebagai media atau tempat untuk saling bebas berbincang dan menentukan sendiri mana yang penting dan yang tidak.

Produk jurnalisme digital sebagai jurnalisme alternatif memang sangat banyak yang masih jauh dari kaidah jurnalistik yang sudah baku. Sama halnya ketika setiap hari para pengguna Twitter melaporkan situasi jalan di jejaringnya, kondisi cuaca, tweet laporan dari lokasi bencana, atau seseorang yang menuliskan analisanya terhadap ekonomi di dinding Facebook. Mengidentifikasikan konten semacam itu sebagai karya jurnalistik atau tidak, tak bisa disimpulkan lewat dialog 1-2 hari.

Seperti juga jurnalisme tradisional yang selalu dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru, begitu pula dengan jurnalisme digital. Dengan kemunculan entitas baru di dunia konten dan jurnalisme digital sebagai jurnalisme alternatif dengan mempertimbangkan gelombang serta dampaknya, dialog soal reidentifikasi, redefinisi maupun kaidah jurnalistik lama adalah hal yang tak terlekkan lagi.

KEBANGKITAN JURNALIS ENTREPRENEUR DAN MODEL PEMBIAYAAN BARU


Kisah Darwin Arya dengan para pecalang di atas memberitahu kita bahwa jurnalistik hanya dianggap layak ketika ia dijalankan oleh seorang profesional. Kalau mau 'dikompetisikan' di depan si pecalang, Darwin tentu kalah oleh saya yang punya kartu pers dan Kartu Wartawan Utama dari Dewan Pers. Saya pasti dianggap profesional dan si Darwin tidak.

Namun apa sesungguhnya profesional dalam jurnalistik itu? Di koran tempat saya bekerja, seorang bocah fresh graduate yang melamar jadi wartawan bisa langsung mendapat kartu pers setelah menjalani program pelatihan 3-7 hari. Ia langsung jadi seorang profesional. Yang kalau dihadap-hadapkan dengan Darwin, si bocah fresh graduate pasti menang di dapan narasumber. Meski sebenarnya produk jurnalistik yang dihasilkan Darwin jauh lebih bagus. Tidak sedikit pula media cetak yang langsung memberikan kartu pers kepada para wartawan magang di hari pertama mereka bekerja. Bila kartu pers dan perusahaan media yang jadi ukuran, alangkah mudahnya jadi seorang profesional di dunia media mainstream ini.

Bila profesional hanya disandarkan pada sebuah keadaan dimana sebuah kegiatan dijadikan profesi untuk mencari penghasilan, bukankah blogger juga mendapatkan penghasilan dari platform dan aktivitasnya?

Di AS, lebih dari 28% blogger mencari nafkah lewat blogging. 40% blogger menjalin kerjasama bisnis dengan media tradisional. Sebagian besar blogger pernah mendapatkan pelatihan jurnalistik dan bersertifikasi. Sehingga dikotomi yang coba dibentuk oleh Andrew Keen di atas tidak relevan lagi. Kini seorang blogger telah menjelma menjadi bentuk yang belum pernah ada sebelumnya: jurnalis entreprenuer. Tak terikat dengan kantor berita manapun, bebas, tapi mendayagunakan kemampuannya untuk mencari nafkah.

Model pembiayaan dan penghasilan bagi para jurnalis digital kini juga memasuki era baru. Banyak lembaga-lembaga filantropi NGO yang memasok dana bagi kegiatan jurnalistik digital, terutama bidang jurnalistik investigatif. Maret 2009 Huffpo menggelontorkan dana $1,75 juta atau Rp25 miliar untuk membiayai kegiatan jurnalistik investigasi para blogger-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun