Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Jurnalisme Digital: Perlawanan dan Masa Depan Kita

7 Januari 2016   15:33 Diperbarui: 24 Mei 2018   09:07 2162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang mendokumentasikan peristiwa penting yang sedang berlangsung. (sumber: brandwatch.com)

Sekuat-kuatnya Tempo atau Kompas menghadirkan karya jurnalistik yang adil dan bertanggungjawab, pihak 'anti-Jokowi' akan tetap menilai mereka media partisipan Jokowi. Sama halnya para pendukung Jokowi tidak akan percaya dengan apapun argumen dari TvOne yang mengatakan bahwa mereka sekedar menjalankan tugas jurnalistik tanpa agenda gelap apapun. Dalam kondisi sosial politik yang balkan seperti ini, tetap pada posisi tengah cenderung bukan pilihan bisnis yang menguntungkan. Kecuali untuk beberapa media yang sudah teramat kuat dengan brand-nya di masyarakat sebagai penyedia karya jurnalistik yang adil.

Yang kemudian muncul adalah 'media yang membuat nyaman' dan secara spesifik melayani kebutuhan perspektif masing-masing kutub. Misal, ada koran 'pro-Jokowi' dan 'anti-Jokowi'. Ada situs 'pro-Syiah' dan 'anti-syiah'. Ada situs spesialis penyebar hoax dan penangkalnya. Bila itu masih belum cukup, setidaknya ada 3 pemilik stasiun televisi besar di Indonesia yang mendirikan partai.

Apa yang disebut oleh koran bahwa mereka masih setia pada verifikasi, otentik dan kedalaman -- sesuatu yang dianggap tidak dimiliki oleh konten digital -- memang benar adanya. Namun jurnalistik tak sekedar 5W+1H dan verifikasi. Ia berangkat dari konfrontasi kesadaran, tanggungjawab kepada masyarakat dan adil sejak dalam pikiran. Bahwa jurnalistik adalah sebuah jalan menemukan kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Kebenaran tak hanya bisa ditemukan lewat jurnalistik, dan tak ada satupun bentuk jurnalistik yang disepakati sebagai yang paling absah.

5W+1H hanya akan jadi sekedar perangkat formal yang bergantung dari framing, niat dan motif. Sehingga yang terpenting bukan sekedar jurnalistiknya, tapi politik keredaksian. Itu sebabnya sekuat-kuatnya MetroTV (misalnya) menjalankan 5W+1H, para 'anti-Jokowi' tetap akan melihatnya sebagai jurnalistik yang cemar.

"Kehadiran kami bukan soal menyelamatkan atau membunuh koran. Motiviasi kami adalah menyelamatkan jurnalistik," tegas Arianna Huffington.

JURNALISME DIGITAL SEBAGAI JURNALISME ALTERNATIF

Awalnya Kurt Cobain adalah salahsatu cela di dunia musik. Ia menjungkirbalikkan tatanan circle chord yang umum berabad-abad. Penggunaan scale dalam melodi dan line vocal juga dicampur seenaknya. Aransemen pada sound jauh dari layak bila dibandingkan dengan Led Zeppelin, Black Sabbath, apalagi Rolling Stone. Kurt dan gerombolannya adalah orang-orang bawah tanah dengan perangkat musik murah yang seenaknya memporakporandakan tatanan dalam genre musik. Tak ada satupun genre bisa ditempelkan bagi kelompok ini.


"Musik bukan skill atau nama yang mereka sematkan padamu. Musik adalah emosi yang bebas," kata Kurt.

Yang bermunculan setelah Kurt Cobain dengan Nirvana-nya adalah Pearl Jam, Radiohead, Sonic Youth, hingga Arcade Fire. Tak ada satupun genre musik mainstream yang menyatukan mereka. Sehingga orang-orang menyebutnya sebagai Musik Alternatif yang booming mulai era 90-an. Bila musik Nirvana disebut lebih dekat ke rock sehingga disebut Alternative Rock, maka bermunculan pula musik alternatif lain seperti Jamiroquai di genre Alternative Jazz. Namun semua aliran-aliran 'nyeleneh' ini diidentifikasikan dalam sebuah kata generik: Alternatif.

Manusia dan peradaban selalu memunculkan hal-hal baru yang sebelumnya tidak terpetakan. Ilmu pengetahuan, rasa dan karsa, telah membuka dunia-dunia baru yang bahkan tidak klop samasekali dengan tatanan lama. Tentu akan ada chaos dan perlawanan dari pemilik, pengelola dan penganut pranata lama. Tapi perubahan mana yang tidak?

Simaklah kisah Kompasianer Darwin Arya ini. Melihat tukang terompet dikerumini polisi adat, ia menyebut, 'insting jurnalistik saya menyala'. Padahal Darwin bukan wartawan, bukan karyawan perusahaan pers. Namun ia membuktikan bahwa sesuatu yang disebut 'jurnalistik' itu bukan properti ekslusif wartawan. Ia kesadaran yang berangkat dari keingintahuan dan pemenuhan hak atas informasi. Sesuatu yang menjadi fitrah manusia.

Begitu pula ketika ia ditanya kartu pers oleh aparat, yang jelas tak punya. Untung saja Darwin tak ditangkap karena dianggap wartawan gadungan. Ketika ia menyebut dirinya jurnalis warga, orang tertawa. Kasihan betul nasib kawan kita satu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun