Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Jurnalisme Digital: Perlawanan dan Masa Depan Kita

7 Januari 2016   15:33 Diperbarui: 24 Mei 2018   09:07 2162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang mendokumentasikan peristiwa penting yang sedang berlangsung. (sumber: brandwatch.com)

Konsumen utama media adalah pengiklan sebagai sumber utama pendapatan mereka. 70-80% pendapatan rata-rata koran berasal dari iklan, seperti yang saya jelaskan dalam tulisan Menyelamatkan Koran dari Kiamat ini. Lihatlah halaman koran anda. Ia didesain untuk menjadikannya atraktif bagi iklan. Tidak jarang separuh halaman depan untuk ruang iklan. 'Membuang' berita adalah pekerjaan sehari-hari di news room bila iklan mendadak masuk dan meminta space di halaman.

Tentu saja masih banyak awak redaksi yang tetap setia menghadirkan karya jurnalistik bernilai tinggi. Namun modus 'memeras' pengiklan lewat berita juga sangat awam. Bila seorang prospek enggan beriklan, digebuk sampai berdarah-darah sampai akhirnya mau beriklan. Kalau Pemda menolak beriklan advertorial kontrak jangka panjang yang nilainya miliaran itu, maka setiap hari beritanya menghajar pejabat. Baru lenyap ketika sudah dapat jatah anggaran. Kita kenal dengan istilah 'wartawan bodrek' sebagai istilah bagi wartawan yang suka memeras narasumber demi uang atau kepentingan pribadi. Namun kini sekupnya jauh lebih besar: 'media bodrek'. Cara bermainnya makin canggih, samar dan terlembaga.

Apakah masyarakat tidak tahu akan kenyataan ini? Pasti tahu. Setidaknya tahu dari kualitas jurnalistik media mainstream yang makin menurun dari waktu ke waktu.

Masyarakat juga kecewa dengan media mainstream dengan 'jurnalistiknya yang agung' melewatkan begitu banyak momen penting dalam sejarah. "Dalam satu dekade, kita menyaksikan media tradisional melewatkan 2 peristiwa penting dalam sejarah: Perang Irak dan resesi 2008," ucap Arianna Huffington, pendiri sekaligus CEO blog crowdsourcing The Huffington Post.

Media gagal mengungkapkan muslihat George W Bush dalam melancarkan Perang Irak yang bermotivasi mencari senjata pemusnah massal dan justru tidak ditemukan. Kemana perginya jurnalistik yang hebat itu dalam melakukan due dilligence terhadap Wall Street sebelum terjadinya crash ekonomi 2008? Kenyataan yang menyakitkan adalah media yang rajin meliput di Wall Street memiliki kepentingan pribadi di sana dan mengkhianati tugasnya memenuhi hak informasi warga.

Hari-hari belakangan kita menyaksikan atas berubahnya institusi dengan kekuatan monopoli informasi dan ilmu pengetahuan itu dari agen perubahan menjadi bagian dari axis of evil atau poros kejahatan.

MEDIA PARTISIPAN DALAM DUNIA PERSPEKTIF


Warga Amerika Serikat berduka atas wafatnya Walter Cronkite tahun 2009. Penyiar televisi di program acara CBS Evening News itu disebut sebagai 'Orang Paling Dipercaya di AS'. Sedari dulu warga AS terbelah dua dari aspek sosial politik: pendukung Partai Republik dan Partai Demokrat. Mirip pendukung Jokowi dan Prabowo kalau di sini. Media AS juga ikut mempolarisasi diri. Stasiun televisi FOX di pihak Republik dan The New York Times di sisi Demokrat.

Dalam obituarinya untuk Walter, surat kabar Journal Star menulis, "Dalam atmosfer hiper-kompetitif media seperti sekarang, tak ada satupun yang bisa menghadirkan kredibilitas melintasi batas antargolongan si kaya-miskin atau Republik-Demokrat, dan membuat kita semua berkata, 'Nah, itulah yang benar!'".

Bukankah kita tengah hidup di dunia yang bebas memilih? Kita bisa memilih tinggal di suatu tempat karena penduduk sekitar beragama yang sama dengan kita. Kita memilih tempat kerja karena ras kita sama dengan ras mayoritas pekerja di sana.Kenapa juga kita tidak memilih berita yang sesuai dengan pandangan hidup dan apa yang mau kita percayai?

"Orang saat ini bisa mengonsumsi media dimana mereka mendapatkan kenyamanan. Ketika seorang Republikan menonton FOX, apakah mereka ingin mendapatkan informasi atau hanya ingin merasa nyaman?" tulis Tomer Strolight, Presiden Torstar Digital.

Media arusutama belakangan hanya dijadikan sebuah perangkat advokasi untuk memperkuat perspektif eksisting dua kubu besar di masing-masing kutub. Dalam masyarakat yang terpolarisasi dan terbalkanisasi secara tajam seperti di Indonesia, ruang tengah itu nyaris mustahil diisi. Tak ada figur atau media yang bisa punya kedudukan sama seperti Walter Cronkite di AS. Beberapa media terus berjuang mengisi ruang tengah itu, atau mengklaim demikian, tapi tetap tak berhasil menuai kredibilitas sebagai pihak tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun