Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Jurnalisme Digital: Perlawanan dan Masa Depan Kita

7 Januari 2016   15:33 Diperbarui: 24 Mei 2018   09:07 2162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang mendokumentasikan peristiwa penting yang sedang berlangsung. (sumber: brandwatch.com)

Harold mencontohkan apa yang terjadi di Mesopotamia pada tahun 3100 SM. Kuil terbesar dan paling dihormati di kala itu adalah yang memiliki tanah kelai paling banyak. Karena di atas kelai itulah para pendeta menatahkan ilmu pengetahuan. Begitu pula yang terjadi di Babilonia dan Nineveh pada tahun 2300 SM. Kuil dan pendeta yang paling dihormati adalah yang menyimpan perkamen terbanyak. Ia berlanjut sampai masa Alexander Yang Agung dengan perpustakaan raksasa Alexandria hingga Archivum Secretum Apostolicum Vaticanum di Vatikan.

"Ini bukan buku, melainkan senjata. Senjata yang menembak langsung ke dalam hati dan pikiran mereka yang lemah dan putus asa. Benda ini akan memberikan kita kontrol terhadap mereka: sebuah kota hingga bangsa," ujar Carnegie dalam film The Book of Eli yang mengisahkan perebutan buku Alkitab terakhir di dunia.

Barang cetakan telah menghadirkan tekanan baru dalam kebangkitan peradaban dan memainkan peranan penting dalam pengelolaan kekuasaan. Seiring berjalannya waktu, hadirlah radio dan televisi sebagai medium informasi yang memperlemah pemujaan terhadap barang cetak, serta membuka jalan bagi ideologi baru. Setiap masa transisi akan membawa goncangan kultural terhadap monopoli atau oligopoli eksisting. Di sini semua pihak sedang memperebutkan penguasaan sumberdaya terbesar di alam semesta: ilmu pengetahuan.

Salah seorang pendiri Amerika Serikat (AS), James Madison, 200 tahun yang lalu menulis: "Hak atas kebebasan publik untuk menilai bertumpu di atas kemerdekaan komunikasi antarmanusia. Kebebasan itu adalah penjaga bagi hak-hak lain milik rakyat."

Selama berabad-abad koran telah berfungsi sebagai kesadaran publik, instrumen dalam mempromosikan demokrasi yang ideal, perangkat kita melawan korupsi serta memperkuat akuntabilitas dan hak-hak warga atas informasi. Disebut wartawan senior Kompas, Bre Redana, jurnalistik adalah konfrontasi kesadaran. Sekian lama mereka yang berada di news room setia pada sebuah kredo: mengingatkan yang berkuasa dan mengasihi yang papa.

Namun selamanya pengelola media dihadapkan pada godaan-godaan untuk menyalahgunakan kekuatan mereka atas penguasaan informasi dan ilmu pengetahuan. Godaan itu membuat mereka tak selalu setia pada apa 'yang benar' dan 'yang penting'. Tapi juga 'yang menarik', 'yang membuat nyaman' dan 'yang menguntungkan'. Karena di balik ketidaksetiaan itu tersedia uang dan kekuasaan yang besar.


Kita semua merasakan dan melihat sendiri bagaimana pelaku media berselingkuh dengan pemilik kekuasaan dan modal, mengkhianati kita yang telah mengamanatkan mereka atas pemenuhan hak informasi dan ilmu pengetahuan yang benar dan adil. Hingga kita sadar bahwa pemenuhan hak atas informasi dan ilmu pengetahuan itu menjadi tugas terlampau besar untuk ditumpukan hanya di pundak institusi. Sampai New Media hadir, kita menggalang kekuatan besar untuk merebutnya kembali.

Kehadiran kita di dunia konten digital nyatanya juga sebagai bentuk kemarahan, ketidakpuasan dan perlawanan atas pelayanan media terhadap pemenuhan hak informasi dan pengetahuan yang disalurkan lewat karya jurnalistik itu.

MEDIA MAINSTREAM DALAM PUSARAN POROS KEJAHATAN

"Media yang independen adalah media yang gulung tikar".

Demikianlah diucapkan seorang bos besar jaringan media nasional Indonesia dalam sebuah rapat internal redaksi yang saya hadiri di tahun 2004. Waktu itu saya masih wartawan culun dan menganggap -- seperti juga ribuan karyawannya di seluruh Indonesia -- Si Bos Besar layaknya dewa yang tak pernah salah. Apa yang diucapkan Si Bos sebenarnya adalah sebuah strategi bertahan. Setidaknya bertahan untuk tetap makin kaya. Itu adalah langkah paling umum bagi media yang sejak lahir telah terperangkap dalam oksimoron: satu sisi mengemban tugas sosial, satu sisi mesti hidup sebagai entitas bisnis.

"Kepentingan utama sebuah bisnis adalah menciptakan dan melayani konsumen," kata Peter Drucker, Bapak Manajemen Modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun