Nabila mendelikkan mata. Eleanor memang terkenal sebagai pemeran antagonis di sekolahnya tercinta. Nabila masih ingat, sejak mengenakan seragam putih abu-abu, Eleanor nggak pernah berubah. Mulai dari rok mini lima senti di atas lutut, koleksi bandana yang selalu berganti setiap harinya, dan sikap ketus yang selalu ditunjukkan kepada siapa saja. Sialnya, ia dan Eleanor selalu berada dalam kelas yang sama.
Akhirnya Nabila lebih memilih berdiri dan siap meninggalkan kelas.
“Hmm, gue denger ada yang lagi ngebet jadi Mrs Rahul nih!” itu suara Eleanor, cempreng dan sangat nyakitin kuping.
Nabila menghentikan langkah. “Apa lu bilang!”
“Ih, telinga lu lagi rusak apa memang pengen denger kalimat Mrs Rahul sekali lagi,” Eleanor melotot tapi nggak sambil kemat-kemot. Takut disangka keong racun.
“Bisa sedikit lebih sopan nggak kalau ngomong,” Nabila mulai naik pitam.
Bukan Eleanor kalau langsung mengkerut. Cewek yang mengaku bakal main film sejak dua tahun lalu tapi nggak syuting-syuting itu pasang badan. “Oh ya, lu berani sama gue,” ujar Eleanor nggak kalah sengit.
“Whatever, nggak ada guna gue ngeladenin lu. Buang-buang waktu,” Nabila siap melenggang keluar kelas.
“Heh, urusan kita belum selesai ya!”
Nabila menghentikan langkah tepat di pintu kelas. Lalu berbalik arah mendekati Eleanor and de gengges yang berkacak pinggang. “Urusan yang mana ya Nor! Oh ya, lu masih punya hutang ke gue, hutang nyawa!” ujar Nabila.
Seisi kelas terdiam. Terpana. Siapapun tahu, Nabila adalah gadis yang sopan, seenggaknya tipe cewek yang nggak mau ribut apalagi dengan Eleanor sang pembuat onar. Nabila masuk dalam tipe cewek ensikopedia berjalan, si kutubuku cantik rupa yang hanya mengeluarkan kalimat kalau ditanya guru atau menerangkan materi pelajaran di kelas. Kejadian Nabila versus Eleanor ini jadi hal fenomenal buat X A.