Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kelopak-kelopak Kamboja

15 Januari 2019   10:41 Diperbarui: 15 Januari 2019   12:42 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Itu peluru ketujuh tanpa repot berizin-izinan. Urusan perizinan usaha keponakanku pun selesai. Hanya berita yang tidak selesai dalam satu hari, meskipun tidak seorang pun bisa menduga bahwa akulah pelaku utamanya.

Terlalu mudah bagiku untuk tidak menjadi target kecurigaan. Hanya saja aku tidak akan membuka rahasia itu di sini karena bisa ditiru oleh orang-orang yang tidak patut melakukan tanpa alasan paling prinsip.

Biar aku saja yang patut, dan patut menyebut ke mana peluru lainnya mendekam. Peluru keenam membenamkan matahari selamanya dari mata seorang oknum kepala rumah sakit yang seenaknya memasang angka pada biaya pengobatan adik kakekku. Peluru kelima menggelimpangkan seorang calo pembuatan SIM tembak.

Peluru keempat mengempaskan harapan seorang wasit yang terlibat pengaturan skor. Peluru ketiga menggasak napas seorang pimpinan proyek pelebaran jalan. Peluru kedua mendulang syahwat puncak seorang kepala daerah di sebuah tempat pijat nikmat. Keluru kesatu bersetubuh dengan penguasa sebidang trotoar.

Aku masih mengingat semuanya, Kawan, setelah aku menggunakan pistol dengan sepuluh peluru yang tinggal sebutir ini. Peluru-peluru memang kian efektif sejak awal debutnya tahun 1779.

Kupikir, sebutir peluru terakhir ini harus benar-benar kuhadiahkan kepada seseorang yang sangat pantas untuk menerimanya. Peluru terakhir, dan aku akan berhenti lalu pergi jauh untuk memulai hidup yang baru, yang jauh dari orang-orang. Aku ingin menikmati seluruh sisa napasku dalam pelukan penuh kedamaian sejati tanpa suatu kebetulan yang mendadak membetot denyut nadiku.


Sejak awal memang senjata itu bukanlah untuk aksesoris sarat gertak palsu. Sejak awal pistolku bukanlah sekadar perlengkapan berjaga-jaga, apalagi bergaya-gaya.

Aku pun masih mengingat debut awalku dengan pistol rakitan mirip Berreta M92F berkaliber 9 mm x 19. Setiap letusannya selalu dalam bisu sekaligus menjadi puncak tertinggi yang paling menyenangkan, Kawan. Tidak perlu kaubandingkan dengan pistol jenis FN kaliber 99 milik dua pesohor di televisi.

Andai dapat kulihat langsung selongsong peluruku melepaskan proyektil, perjalanannya menuju sebatang leher berulir, berputar per detik, dan asap kecil di moncongnya pun dapat terekam, maka satu letusan saja dengan kecepatan diperlambat sampai 900 kali tentu mengasyikkan. Lalu ketika peluru bulat itu menembus bagian tubuhnya, lalu tubuh itu terjengkang atau tumbang, lalu...

Klimaks paling puncak. Ah, seandainya lagi pistolku menggunakan peluru berlubang dengan beberapa takikan, hasil tembusannya akan jauh lebih indah. Seperti sobekan dan darah seperti grafiti di tembok belakang bekas sekolahku.

Kalau kauingat grafiti itu, begitulah biasanya hasil kerja peluru berlubang, Kawan. Betapa alangkahnya, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun