Itulah tanda perdana dari pistolku dulu yang muntahannya secara telak menghajar tubuh kepala sekolahku di ruang kerjanya seusai pulang sekolah. Aku sempat terperangah sendiri karena pengalaman pertama takterduga. Berikutnya aku ketagihan, Kawan, apalagi dengan semerbak aroma darah yang memabukkan.
Pengalaman keduaku, musuh bebuyutanku, pembalap asal ibu kota kabupaten. Ketiga, seorang petugas rumah tahanan juga menikmati peluruku ketika aku menjenguk temanku yang terjaring kasus pencurian kabel telpon.
Keempat, seorang tukang copet di bus kota yang nekat berurusan denganku. Kelima, seorang tukang palak yang sering mendatangi kios saudaraku. Keenam, seorang oknum berbaju dinas yang memalaki truk-truk, dan kebetulan aku sedang menumpang sebuah truk untuk ke luar kota.
Ketujuh, seorang wakil rakyat yang suka omong besar di televisi daerahku, yang kebetulan membentakku di sebuah mal karena sedikit senggolan di antara rak barang elektronik. Kedelapan, seorang oknum kelautan.
Aku kehilangan pistol itu ketika mancing di sebuah teluk. Ya, orang terakhir dari delapan penikmat peluruku adalah seorang petugas kelautan di sekitar tempat mancing itu.
Bulan dan bintang sedang bersembunyi, meski menyisakan remang yang dibenturkan ombak pada karang di bawahku. Bising sekali.
Sebuah sampan mengecupi bibir pantai. Setitik lampu memberi tanda. Dua siluet manusia tampak tengah bercakap. Sesekali mereka menghidupkan senter, menyoroti sesuatu yang berada di salah satu tangan.
Semula kusangka mereka nelayan. Tapi mana ada nelayan pulang pada jam segitu. Apalagi, siluet seseorang kemudian melayangkan tinjunya, lalu mengacungkan sesuatu.
Keingintahuanku terpancing. Aku mengendap-endap ke arah mereka. Setelah jarak sekitar sebelas meter dari mereka, baru kutahu apa yang sesungguhnya terjadi.
"Mana?"
"Belum, Bos. Sabar."