"Selalu Siap Melayani Masyarakat". "Memberikan yang Terbaik kepada Masyarakat". Dan entah poster apa lagi yang terpampang di ruang depan setiap kantor. Sementara di dalamnya orang-orang berseragam sedang menikmati makanan dan minuman ringan, padahal matahari masih bermanja-manja di sudut sana.
Beberapa orang berseragam masuk sambil cekikikan. "Nanti siang kita ke sana lagi, ya," ajak seseorang. "Yang penting kita sudah tengok barangnya. Sebentar nanti ada yang ngasih," jawab seorang rekannya.
Beberapa lainnya keluar. "Halo? Tunggu di situ. Lagi otewe," kata seseorang dengan ponselnya. "Aku jemput anakku dulu. Pembantu tengah rekreasi dengan kawan-kawannya," pamit seorang pada rekannya yang sedang menikmati makanan ringan.
Ya, ya, ya. Mengabdi kepada Negara. Melayani Masyarakat. Memberikan yang Terbaik. Terbaik itu dengan penampilan yang sepadan, selain kendaraan terbaik. Gelang-gelang, cincin-cincin, kalung-kalung, ponsel pintar terbaru, parfum-parfum bermerek, dandanan terbaik, pakaian bergaris seterikaan yang rapi, dan seterusnya. Ya, ya, ya.
Aku tidak pernah heran atau menghitung, berapa semuanya jika dibandingkan dengan pendapatan rutin per bulan. Ada tunjangan, tambahan gaji kesekian, dan seterusnya. Prosedur lembur bisa diatur, dan cekakak-cekikik tetap beramburan. Tidak ada yang akan membuat mereka murung tersebab kurang. Terbaik itu berarti semua terlebihkan.
Ya, semua terlebihkan, Kawan. Kalau masih kurang, biarlah aku yang mencukupinya secara tunai-tuntas dengan timah panas. Beres, 'kan?
***
Minggu lalu pun telah kubereskan dan lunas melalui pemakaman seorang pegawai berbeda instansi. Usianya belum tiga puluh tahun. Pasalnya, pada suatu hari menjelang jemputan moncong pistolku, orang itu meminta uang di luar prosedur alias tidak tertulis dalam formulir pengurusan izin usaha yang baru akan dirintis oleh keponakanku, padahal jelas-jelas tertulis biayanya.
Keponakan menyerahkan urusan itu padaku karena kewalahan atas perlakuan orang itu. Pada hari Kamis aku mendatangi orang itu di kantornya.
"Kalau mau keluar sertifikat izin usaha keponakanmu, bayar lima ratus ribu lagi," katanya. "Kalau tidak mau, tunggu antrean, ya?"
Sungguh menyebalkan. Baru mau membuka usaha kecil yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari saja, biaya perizinannya sudah dipalaki begini. Kubayar kontan dengan sebutir peluru yang langsung menjatuhkan jantungnya.