Yang penting telah kutunaikan gejolak jiwaku sebab kemarin siang orang itu minta uang di luar prosedur atau aturan tertulis dalam legalisasi sertifikat tanah warisan kakek angkatku. Paman-paman dan bibi-bibiku selalu gagal mendapatkan hasilnya, meski entah sudah berapa banyak uang yang dilepaskan.
"Maklumlah, Pak, gaji kami tidak seberapa dibanding swasta. Kami lembur tidak dibayar. Urusan tanda tangan untuk tanah ini harus... "
Begitu alasannya seolah-olah harus, harus, dan harus apa saja yang bisa seperti sungai mengalir uang ke kantong-kantong ketika keluarga kami datang untuk menanyakan hasilnya. Termasuk ketika aku menghadap.
Dan, ya, harus kuselesaikan keharusan demi keharusan itu dengan sebutir timah panas. Tanpa perlu lantang dengan "dor!". Kurasa, penyelesaianku dengan diam saja itu sudah sangat tepat untuk menghentikannya dari belitan persoalan lembur tanpa dibayar.
Aku puas sekali, apalagi bisa menyaksikan acara terakhir di pemakaman semacam ini. Sementara beberapa orang berkasak-kusuk sambil melangkah perlahan ke luar kompleks pemakaman. Mereka melewati aku yang sedang berjongkok seolah sedang membersihkan sebuah makam.
"Dia teman baik, tidak pelit."
"Ya, dia selalu mengerti kekurangan teman. Aku pernah diberinya uang waktu nganggur tiga bulan."
"Dia sering membelikan beras untuk keluarga kami."
"Orang yang taat beribadah."
"Eh, kemarin dia menjanjikan uang untukku, katanya dari proyek jembatan lintas pulau."
"Oh, ya?"