"Sudah dua minggu lho. Janjimu lewat tenggat."
"Terus, kalau lewat, mau apa? Buka seragammu, jangan mentang-mentang!"
Dor! Sepercik api dari sebuah senjata. Suara letusannya langsung dilebur deburan ombak. Seorang berdiri, dan seorang lagi ambruk.
Seorang yang di sampan bergegas menjauh. Tiga letusan pistol mengejarnya. Ada suara erangan. Lalu sampan bergoyang-goyang. Orang di atasnya pun tidak bergerak lagi.
Pistolku tak sudi bergeming. Selalu saja lihai dan jitu ketika melepaskan peluru dan menyelinap dalam hening hingga sampai ke tubuh oknum kelautan itu. Berikutnya hanya bening malam yang mampu menerjemahkan senyumanku setelah melihat situasi diliputi ketenangan dan ketentraman yang hakiki.
Lalu kutarik kedua mayat di bibir pantai itu ke batu karang tadi, lantas kulempar ke gelora laut. Seketika aku lega sekali seolah sedang melarungkan segala geram yang geming.
Sialnya, Berreta kesayanganku ikut tercebur bersama badan-badan beku tadi. Benar-benar sial, Kawan!
Aku urung melanjutkan mancing. Kutembaki udara basah dan bergaram dengan caci maki sembari mencari pistol oknum tadi.
***
Kelopak-kelopak kamboja berguguran. Kelopak-kelopak kamboja bergelimpangan di tanah pemakaman. Panorama-panorama yang tidak ingin kulihat lagi dengan sebutir peluru terakhir yang kumiliki, Kawan.
Kau memang kawanku tetapi kau tidak perlu berpihak padaku berkaitan dengan rentetan tindakanku yang berdampak langsung pada orang-orang yang selama ini begitu leluasa bermain-main dengan kehidupan. Aku mengeksekusi mereka agar mereka tidak dikejar rasa bersalah dan selau waspada terhadap intaian hukum yang bisa memalukan sekaligus memilukan bagi seluruh sanak keluarga mereka.