Sosiolog modern menilai bahwa mentalitas pengemis lahir dari kegagalan pendidikan sosial yang menumbuhkan ketergantungan, bukan kemandirian.
Ketika seseorang terbiasa menerima tanpa proses belajar, ia kehilangan self-worth (nilai diri).
Sebaliknya, masyarakat juga membangun mentalitas penolong instan, merasa suci dengan memberi, tanpa memulihkan martabat penerima.
Di sinilah relevansi filsafat pendidikan klasik:
Plato mengajarkan struktur keadilan;
Aristoteles menanamkan pembiasaan moral;
Socrates menumbuhkan kesadaran diri.
Ketiganya seakan berbisik kepada kita:
"Kemiskinan tidak hanya perlu diatasi, tetapi disadarkan, dididik, dan dimanusiakan."
Jalan Filosofis bagi Kebijakan Sosial
Penertiban pengemis hanyalah tindakan administratif. Namun jika akar masalahnya adalah pendidikan moral dan sosial yang gagal, maka solusi sejati harus bersifat transformasional:
- Reformasi pendidikan karakter sosial di sekolah dan keluarga. Anak-anak perlu dididik tentang nilai kerja, empati aktif, dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar akademik.
- Pemberdayaan berbasis martabat, bukan belas kasihan. Bantuan sosial harus bersifat mendidik, bukan memperpanjang ketergantungan.
- Dialog publik yang reflektif. Pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan perlu membuka ruang tanya: mengapa kemiskinan terus berulang?
- Kepemimpinan moral. Konfusius pernah berkata, "Jika pemimpin memiliki kebajikan, rakyat akan mengikuti." Maka, moralitas publik bergantung pada teladan elitnya.