Mohon tunggu...
Ida Bagus Alit Arta Wiguna
Ida Bagus Alit Arta Wiguna Mohon Tunggu... Researcher

Suka terhadap perkembangan anak usia dini, perkembangan pendidikan multikultural, pendidikan sosial dan pedagogi pendidikan, cyberdagogi pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belas Kasihan Tanpa Pendidikan : Jalan Sunyi Menuju Ketergantungan Mental Pengemis (Perspektif Filsafat Pendidikan Klasik)

11 Oktober 2025   18:13 Diperbarui: 11 Oktober 2025   17:12 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Pribadi, 2025. Ilustrasi Tuna Sosial mengajak Anak)

Fenomena Sosial di Lapangan

Beberapa pekan terakhir, publik Mataram digemparkan oleh munculnya pengemis perempuan yang membawa bayi tertidur di pangkuannya. Dugaan bahwa bayi-bayi tersebut diberikan obat tidur agar tidak rewel menjadi perbincangan hangat di media sosial.

Dinas Sosial Kota Mataram segera menertibkan para pengemis tersebut dan berencana memberikan pembinaan. Namun di balik langkah administratif itu, tersimpan persoalan sosial yang lebih dalam tumbuhnya mentalitas ketergantungan dan hilangnya martabat manusia.

Para sosiolog menyebut kondisi ini sebagai "tuna sosial", yakni situasi ketika seseorang tidak mampu berfungsi secara sosial dan bergantung sepenuhnya pada belas kasihan masyarakat.

Pandangan Plato: Keadilan Sosial dan Pendidikan yang Rusak

Filsuf Yunani kuno Plato (427--347 SM) dalam The Republic menulis:

"Keadilan adalah ketika setiap orang melaksanakan perannya dengan selaras."

Bagi Plato, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi alat untuk menciptakan keteraturan sosial dan keadilan. Ketika negara gagal mendidik rakyat agar berperan sesuai kapasitasnya, maka akan lahir kelas yang kehilangan arah dan fungsi sosial seperti fenomena tuna sosial hari ini.

Plato menilai bahwa kemiskinan ekstrem dan ketergantungan adalah indikasi cacat moral sistem pendidikan negara. Negara, katanya, harus mendidik setiap warga menjadi bagian dari polis yang bermartabat, bukan individu yang hidup dari belas kasihan.

"Negara yang meninggalkan pendidikan moral sedang menanam benih kehancurannya sendiri."

(Copleston, 2020 & Nurhayati et all., 2022)

Pandangan Aristoteles: Hilangnya Kebajikan dan Karakter Sosial

Murid Plato, Aristoteles (384--322 SM), menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah menanamkan eudaimonia kebahagiaan sejati yang lahir dari kebajikan.

Dalam Nicomachean Ethics, ia menulis:

"Kita menjadi baik bukan karena tahu apa itu kebaikan, tetapi karena terbiasa melakukan kebaikan."

Fenomena pengemis di Mataram menunjukkan bahwa kebajikan sosial tidak lagi menjadi kebiasaan hidup masyarakat. Para pengemis terbiasa bergantung pada empati publik, sementara masyarakat terbiasa merasa "baik" hanya dengan memberi uang receh tanpa memikirkan akar masalahnya.

Inilah yang disebut Aristoteles sebagai akrasia, kelemahan kehendak moral.

Kita tahu yang benar (membantu melalui pemberdayaan dan pendidikan), tetapi memilih yang mudah (memberi belas kasihan sesaat).

Pendidikan modern terlalu fokus pada kecerdasan kognitif dan melupakan pendidikan karakter sosial.

"Tanpa pembiasaan kebajikan, manusia berpendidikan hanyalah mesin pengetahuan tanpa arah moral."

(pratama et all., 2024)

Pandangan Socrates: Ketidaksadaran Moral Kolektif

Lebih jauh ke belakang, Socrates (469--399 SM) menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah kesadaran diri.

Metode maieutic (dialektika tanya-jawab) yang dikembangkannya bertujuan menggugah manusia agar sadar akan kebodohan moralnya.

"Orang yang tidak menyadari ketidaktahuannya adalah orang yang paling jauh dari kebijaksanaan."

(Plato, Apology of Socrates)

Dalam konteks Mataram, masyarakat yang menaruh iba tanpa refleksi kritis atas sistem kemiskinan juga terjebak dalam "gua ketidaktahuan" seperti yang digambarkan Socrates dalam Allegory of the Cave.

Kita melihat bayangan kebaikan (sedekah), tapi gagal memahami hakikatnya (pemberdayaan).

Fenomena tuna sosial, dalam pandangan Socrates, bukan hanya kemiskinan materi, tetapi kebutaan moral kolektif, ketika manusia berhenti berpikir tentang makna tindakannya.

(Gambar: Ilustrasi Pengemis meminta-minta di Mataram) sesuai dengan aslinya.
(Gambar: Ilustrasi Pengemis meminta-minta di Mataram) sesuai dengan aslinya.

Mentalitas Pengemis: Warisan Pendidikan yang Gagal

Sosiolog modern menilai bahwa mentalitas pengemis lahir dari kegagalan pendidikan sosial yang menumbuhkan ketergantungan, bukan kemandirian.

Ketika seseorang terbiasa menerima tanpa proses belajar, ia kehilangan self-worth (nilai diri).

Sebaliknya, masyarakat juga membangun mentalitas penolong instan, merasa suci dengan memberi, tanpa memulihkan martabat penerima.

Di sinilah relevansi filsafat pendidikan klasik:

Plato mengajarkan struktur keadilan;

Aristoteles menanamkan pembiasaan moral;

Socrates menumbuhkan kesadaran diri.

Ketiganya seakan berbisik kepada kita:

"Kemiskinan tidak hanya perlu diatasi, tetapi disadarkan, dididik, dan dimanusiakan."

Jalan Filosofis bagi Kebijakan Sosial

Penertiban pengemis hanyalah tindakan administratif. Namun jika akar masalahnya adalah pendidikan moral dan sosial yang gagal, maka solusi sejati harus bersifat transformasional:

  • Reformasi pendidikan karakter sosial di sekolah dan keluarga. Anak-anak perlu dididik tentang nilai kerja, empati aktif, dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar akademik.
  • Pemberdayaan berbasis martabat, bukan belas kasihan. Bantuan sosial harus bersifat mendidik, bukan memperpanjang ketergantungan.
  • Dialog publik yang reflektif. Pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan perlu membuka ruang tanya: mengapa kemiskinan terus berulang?
  • Kepemimpinan moral. Konfusius pernah berkata, "Jika pemimpin memiliki kebajikan, rakyat akan mengikuti." Maka, moralitas publik bergantung pada teladan elitnya.

Mendidik untuk Memanusiakan Manusia

Fenomena tuna sosial di Mataram seharusnya tidak hanya menyentuh hati, tetapi menggugah kesadaran filosofis kita. Pendidikan yang sejati bukanlah tentang mencetak lulusan pintar, tetapi membangun manusia yang sadar akan martabat dan tanggung jawabnya.

Sebagaimana Plato memperingatkan lebih dari dua ribu tahun lalu:

"Negara tanpa pendidikan moral tidak akan bertahan, karena ia kehilangan jiwa keadilannya."

Mataram dan Indonesia tidak membutuhkan lebih banyak penertiban. Kita butuh pendidikan yang memanusiakan, agar anak-anak pengemis hari ini tidak menjadi pengemis yang baru di masa depan.

Referensi:

  • Anisa, S. Z., Orindianisa, O., Lekahena, P. D., & Pratama, M. A. (2024). Moral dan Karakter dalam Socrates. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan, 1(02).
  • Antaranews.com (April 2025): "Pengemis Musiman Jelang Idul Fitri Meningkat di Mataram"
  • Copleston, F. (2020). Filsafat Plato (Vol. 3). Basabasi.
  • Detik.com (20/05/2025): "Muncul Dugaan Pengemis Bawa Bayi di Mataram, Beri Obat Tidur agar Tak Rewel"
  • Kabarsumbawa.com (19/05/2025): "Pengemis Perempuan Mataram, Fenomena Menyentuh Hati"
  • Nurhayati, I., Herma sa'ari, M., Firmanulloh, M. D., & Hermansyah, S. (2022). Konsep Keadilan Dalam Perspektif Plato. Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains Dan Sosial Humaniora, 1(01).
  • Pratama, F. D., Pebriansya, R., & Pratama, M. A. (2024). Konsep Keadilan dalam Pemikiran Aristoteles. Praxis: Jurnal Filsafat Terapan, 1(02).

Oleh: Ida Bagus Alit Arta wiguna

(Mahasiswa S3 Program Studi Doktor Pendidikan)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun