Berpikir ingin melirik ke arloji di pergelangan lengan kiri, tetapi nanti terkesan ingin menyudahi pertemuan ini. Ingin juga menyalakan HP yang kuletakkan di meja seberang ku, namun nanti dipikir ada kesibukan yang ditinggal.
Aku harus bisa menghargai Obed, satu-satunya teman yang mau menjawab WhatsApp ku dan berkenan bertemu. Apalagi, ia menyempatkan diri di sela-sela waktu audit Bank Indonesia cabang Surabaya.Â
Memulai start bersama di perusahaan plastik, kini aku dan Obed di kutub yang berbeda. Aku sebentar lagi menyandang status pengangguran, sementara Obed Nando sudah mapan sepuluh tahun lebih di Bank Indonesia.
Beruntung ada kaca cermin tepat di belakang Obed yang ternyata sedikit memantulkan jam dinding tepat di belakangku.Â
Kini pukul 13.30, dan aku hanya punya waktu sekitar lima belas menit lagi sebelum berlari ke lantai empat Gedung Spazio, tempat kantorku berada.
Meskipun tiga hari lagi aku sudah tidak bekerja di sana lagi, aku tidak ingin meninggalkan jejak terlambat kembali dari makan siang.
Maka kuberanikan diri sekali lagi bertanya pada Obed.
"Bed, jadi bagai..."
"Oke Tan, begini. Gue menyimak kok semua cerita lu tadi. Jumat besok hari terakhir lu kerja karena PHK massal. Kantor juga menunda pembayaran gaji bulan ini dan pesangon, dan baru akan cair bertahap tiga bulan lagi. Kemudian lu berencana membuka usaha kuliner dan pinjam yang 10 juta."
"Iya betul, Bed."
Ada angin sega mendengar Obed mengulang ceritaku semenjak sejam lalu dengan sempurna, meski dalam hati cukup merasa malu karena tiga tahun tidak jumpa dan berujung harus meminjam uang kepadanya.