"Memang selain bekerja, apa kesibukan lu sehari-hari, Tan?"
Pertanyaan yang mulai membuatku merasa sedang diinterview surveyor leasing.
"Sampai rumah jam tujuh malam, paling main aja sama anak-anak, Bed."
"Kalau itu kan kewajiban, Tan. Hmm, gue ganti pertanyaan aja deh. 'Apa yang lu lakuin saat punya waktu me time?"
"Owh kalau sendirian, biasanya aku baca buku atau artikel. Ya, itupun tidak bisa konsisten. Paling-paling sepuluh menit, sudah harus bantuin istri jaga anak-anak."
"Kalau main game? Mobile Legend, FF, CoC?"
"Cuma Clash Royale aja. Soalnya satu battle paling tiga sampai lima menit. Yang lain pernah main sih, cuma ga enak kalau diajak war pasti ga sempat."
"Wuih, sebegitunya ya."
Akupun mulai bingung dengan arah pertanyaan Obed Nando. Maka aku putuskan untuk mengulang pertanyaan yang menjadi tujuanku bertemu dengannya Selasa siang ini.
"Bed, sori. Jadi yang tentang tadi, gimana? Apa kamu bisa bantu?"
Mata Obed tampak tak menghiraukanku. Ia malah menerawang ke arah langit-langit putih Warung Davia.
"Jadi sekarang hobi lu membaca, Tan?  Sebentar-sebentar, kalau hobi membaca ujung-ujungnya harus bisa menulis. Lu bisa menulis artikel?"
"Eee, ga pernah sama sekali, Bed."
"Oke. Jadi hobimu sekarang membaca karena hanya punya sedikit waktu tadi ya. Kalau hobi yang lain?"
"Waktu masih punya satu anak, mungkin masih sempat futsal sama teman kuliah. Tapi itu paling sebulan dua kali."
"Lah kalau sekarang memang kenapa?"
Berhubung Obed ini teman kerja di kantor pertamaku, ia mungkin tidak paham dengan circle teman-teman SMA dan kuliahku dulu.
"Sudah jalan sendiri-sendiri. Mereka ada yang ikut tim kantor di Bank BCA, Mega, dan lain-lain."
"Terus lu sekarang ga diajak?"
"Waktu masih di kantor lama, masih. Ya itu, cuma sebulan sekali atau dua kali. Sekarang sudah jarang bertemu mereka. Hampir tidak pernah malah."
"Cuma? Memangnya dulu main futsal sebulan berapa kali?"
Memori menyenangkan mendadak tersulut di pikiranku.
"Wah jangan tanya kalau pas SMA atau atau kuliah. Minimal dua hari sekali main futsal atau sepak bola."
"Nah itu. Jadi hobi lu sebenarnya main bola?"
"Iya, dulu itu satu-satunya hobiku, Bed."
Obed memang baru mengenalku sejak bekerja di perusahaan plastik tempat kami bekerja usai lulus kuliah tahun 2012 silam.Â
Kami berdua pertama bertemu di sesi interview, dan masuk bersama sebagai kandidat dua sales yang diterima perusahaan. Aku berasal dari Surabaya, sementara ia dari Malang.
"Lu beneran suka sepak bola, Tan?"
Pertanyaan macam apa ini? Sudah seperti Kubo Yoshiharu bertanya pada Toshi di komik Shoot. Tentu jawabannya seratus persen iya.
"Iya, Bed."
Situasi mendadak hening dalam satu menit di antara kami berdua. Canggung, seakan-akan yang ditanya olehnya tadi adalah sesosok wanita. Obed pun masih memutar matanya ke arah langit-langit.
Aku jadi mulai gelisah karena waktu. Kuseruput sejenak kopi susu yang sudah tidak panas lagi.Â
Berpikir ingin melirik ke arloji di pergelangan lengan kiri, tetapi nanti terkesan ingin menyudahi pertemuan ini. Ingin juga menyalakan HP yang kuletakkan di meja seberang ku, namun nanti dipikir ada kesibukan yang ditinggal.
Aku harus bisa menghargai Obed, satu-satunya teman yang mau menjawab WhatsApp ku dan berkenan bertemu. Apalagi, ia menyempatkan diri di sela-sela waktu audit Bank Indonesia cabang Surabaya.Â
Memulai start bersama di perusahaan plastik, kini aku dan Obed di kutub yang berbeda. Aku sebentar lagi menyandang status pengangguran, sementara Obed Nando sudah mapan sepuluh tahun lebih di Bank Indonesia.
Beruntung ada kaca cermin tepat di belakang Obed yang ternyata sedikit memantulkan jam dinding tepat di belakangku.Â
Kini pukul 13.30, dan aku hanya punya waktu sekitar lima belas menit lagi sebelum berlari ke lantai empat Gedung Spazio, tempat kantorku berada.
Meskipun tiga hari lagi aku sudah tidak bekerja di sana lagi, aku tidak ingin meninggalkan jejak terlambat kembali dari makan siang.
Maka kuberanikan diri sekali lagi bertanya pada Obed.
"Bed, jadi bagai..."
"Oke Tan, begini. Gue menyimak kok semua cerita lu tadi. Jumat besok hari terakhir lu kerja karena PHK massal. Kantor juga menunda pembayaran gaji bulan ini dan pesangon, dan baru akan cair bertahap tiga bulan lagi. Kemudian lu berencana membuka usaha kuliner dan pinjam yang 10 juta."
"Iya betul, Bed."
Ada angin sega mendengar Obed mengulang ceritaku semenjak sejam lalu dengan sempurna, meski dalam hati cukup merasa malu karena tiga tahun tidak jumpa dan berujung harus meminjam uang kepadanya.
Aku merasa sosok Obed Nando bisa menjadi penolong keberlangsungan finansial keluargaku. Untuk uang tabungan, sebenarnya bertahan tiga bulan tidaklah susah jika aku bisa menekan pengeluaran bulanan.Â
Tapi karena Siska, istriku, sudah memutuskan menjadi ibu rumah tangga saat kelahiran anak kedua kami, tentu wajar aku mengajukan pinjaman modal usaha pada temanku sendiri.
Teringat setelah kami diterima di perusahaan plastik, aku sangat bingung padanya Obed. Sebab, sebagai anak rantau dari Malang ia memilih tinggal di kontrakan elit tengah kota Surabaya.
Tetapi semua latar belakang Obed terkuak enam bulan setelahnya. Ia mendadak resign dan membayar penalti perusahaan dua puluh juta rupiah, setelah diterima sebagai auditor Bank Indonesia.
Baru setelah momen resign nya, ia menjelaskan padaku bahwa bapaknya adalah salah satu direktur Bank pelat merah. Ia hanya mengisi waktu enam bulan bekerja di sela-sela penatian pengumuman itu.
"Sebagai temanmu gue ga bisa kasih pinjaman untuk usaha kuliner itu, Tan."
Jleb. Pernyataan itu mendadak menghancurkan potret kilas balik itu. Penolakan oleh klien sudah ribuan kali aku terima, tetapi penolakan dari teman rasanya menusuk tepat di jantung.Â
Aku harus bersiap mengarang cerita kepada Siska agar nama Obed tidak jelek di pikirannya. Mungkin pertimbangan Obed adalah tidak mau pertemanan kita hancur karena uang.
"Owh iya tidak apa-apa, Bed. Aku yang berterima kasih karena kamu mau mendengar ceritaku."
"Sebentar-sebentar, bukan maksud gue buruk, Tan. Lu teman gue kan?
"Iya lah."
"Lu suka sepak bola?"
Kenapa pertanyaan ini diulang lagi?
"Ee, iya."
"Lu percaya gue?"
Nah ini sulit untuk menjawab. Kalau aku bilang percaya, sepertinya ia akan menceramahiku tentang kemaslahatan utang tanpa aku bisa mendapatkan pinjaman. Kalau dibilang tidak percaya, sama juga tidak menghargainya.
"Ya pasti lah, Bed."
"Gue hutang nyawa sama lu waktu di Bromo dulu, Tan. Jadi sepuluh menit sebelum lu balik kerja, dengerin omongan gue."
Teringat momen di tahun 2013 silam, saat kami berlibur ke air terjun Madakaripura di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saat itu kaki Obed tidak sengaja tergelincir ke dalam genangan air terjun yang ternyata memiliki pusaran dalam.
Obed tidak bisa berenang dan seluruh tubuhnya sudah masuk ke dalam air. Teman lain mengira Obed sedang bercanda. Beruntung aku cepat menoleh dan meraih juluran tangannya di bawah permukaan air.
"Oke gue jelasin, Tan. Gue punya data kajian, memang tahun 2025 ini ada ratusan ribu PHK terjadi seperti yang lu alami. Delapan puluh persen korban PHK akan bertindak sama seperti lu, buka usaha. Mungkin cuma dua puluh persen saja yang masih berusaha dapetin perusahaan baru. Prediksi berikutnya, Indonesia akan alami lonjakan jumlah UMKM dan terjad kanibalisme."
Ceramah yang kuprediksi terjadi. Meski demikian, aku sangat percaya bahwa datanya valid.
"Dan lu berencana membuka usaha kuliner, yang sori to say, bukan basic kemampuan lu dan istri lu. Gue sih sangat yakin dengan kemampuan marketing lu, lu bisa jualan banyak dan kembalikan pokok pinjaman. Tapi, gue mau jadi "teman kaya" buat lu, Tan."
Teman kaya? "Ayah kaya" kali, seperti kata Robert Kiyosaki. Aku menyunggingkan senyum.
"Iya betul, Robert Kiyosaki, Tan. Sebagai teman kaya, gue harus menolong lu untuk jangka panjang. Gue tanya sekali lagi, lu beneran suka sepak bola?"
Ketiga kalinya Obed menanyakan hal yang sama, sudah mirip jumlah pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus.
"Iya, Bed, aku suka sepak bola. Memangnya kenapa sih?"
"Oke, besok Sabtu pagi kita bertemu lagi di lapangan futsal. Tempatnya gue masih belum tau, nanti sore gue kabari. Tadi pagi anak BI ada yang ajak gue. Jadi karena gue ga bisa main bola, lu aja yang wakilin."
Aku masih bingung dengan ajakan ini, namun kegembiraan yang tersulut perlahan mulai menyala terang. Apa mungkin Obed mau rekomendasiin aku masuk ke bagian Bank Indonesia? Aku jelas tidak berani bertanya kemungkinan kecil ini.
"Oke nanti kabar-kabari saja, Bed."
"Gue serius, Tan. Lu Sabtu pagi ga ada acara kan sebelum antar gue ke bandara Juanda?"
Obed tampak sangat serius. Aku pikir juga tidak ada salahnya karena sudah ijin Siska di hari Sabtu untuk antar Obed ke Juanda.
"Tidak ada. Iya-iya aku pasti datang. Tapi aku bingung kenapa kamu ajak aku main bola, sementara kamu dulu ikut nobar aja ga pernah mau?"
"Hehehe. Sekali lagi, gue 'Temen Kaya' elu, Tan. Gue pingin lu eksplorasi hal yang bener-bener lu suka."
"Jadi pemain bola? Umurku sudah 30 tahun, Bed. Mau jadi pelatih? Juga butuh lisensi."
"Ya gue belum tau jawabannya, Tan. Biar nanti jawabannya lu dapetin di lapangan futsal. Satu nasihat awal gue, mulailah mengejar hal yang menjadi passion mu. Oke?"
Setelah mengiyakan ajakan temanku ini, kami pun saling memberikan "tos semangat". Tak lupa ia menitipkan salam kepada Siska, dan aku pun berpamitan.
Sembari berjalan ke Gedung Spazio, perasaan yang aku dapatkan cukup bertolak-belakang dengan penolakan atas pinjaman uang sepuluh juta tadi. Entah mengapa malah senyum gembira yang tersungging di wajahku.
Ini bukan karena aku bertemu seorang teman lama yang enak di ajak ngobrol. Bukan pula tentang kopi susu nikmat yang ditraktirnya tadi.
Tapi karena aku membayangkan berada di atas lapangan lagi, bermain bola, futsal. Sejak istriku hamil anak kedua, sudah dua tahun lebih aku tidak menyentuh bola.Â
Semoga saja sepatu futsal-ku masih bisa dipakai. Dan terutama, semoga kostum hitam bernomor punggung 25 yang mungkin terselip di tumpukan pakaian bagian paling bawah bisa kutemukan untuk dicuci.
Karena di atas dua nomor itulah tertulis jelas namaku, Nathan Asoka.
(... bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI