"Dan lu berencana membuka usaha kuliner, yang sori to say, bukan basic kemampuan lu dan istri lu. Gue sih sangat yakin dengan kemampuan marketing lu, lu bisa jualan banyak dan kembalikan pokok pinjaman. Tapi, gue mau jadi "teman kaya" buat lu, Tan."
Teman kaya? "Ayah kaya" kali, seperti kata Robert Kiyosaki. Aku menyunggingkan senyum.
"Iya betul, Robert Kiyosaki, Tan. Sebagai teman kaya, gue harus menolong lu untuk jangka panjang. Gue tanya sekali lagi, lu beneran suka sepak bola?"
Ketiga kalinya Obed menanyakan hal yang sama, sudah mirip jumlah pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus.
"Iya, Bed, aku suka sepak bola. Memangnya kenapa sih?"
"Oke, besok Sabtu pagi kita bertemu lagi di lapangan futsal. Tempatnya gue masih belum tau, nanti sore gue kabari. Tadi pagi anak BI ada yang ajak gue. Jadi karena gue ga bisa main bola, lu aja yang wakilin."
Aku masih bingung dengan ajakan ini, namun kegembiraan yang tersulut perlahan mulai menyala terang. Apa mungkin Obed mau rekomendasiin aku masuk ke bagian Bank Indonesia? Aku jelas tidak berani bertanya kemungkinan kecil ini.
"Oke nanti kabar-kabari saja, Bed."
"Gue serius, Tan. Lu Sabtu pagi ga ada acara kan sebelum antar gue ke bandara Juanda?"
Obed tampak sangat serius. Aku pikir juga tidak ada salahnya karena sudah ijin Siska di hari Sabtu untuk antar Obed ke Juanda.
"Tidak ada. Iya-iya aku pasti datang. Tapi aku bingung kenapa kamu ajak aku main bola, sementara kamu dulu ikut nobar aja ga pernah mau?"