Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Pengampunan Menjadi Revolusi yang Mengubah Dunia

18 April 2025   10:09 Diperbarui: 18 April 2025   10:09 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Salib.Pixabay.om/Didgeman 

Ada kalimat yang begitu lembut namun mengguncang. Kalimat yang tidak diucapkan dalam suasana damai atau penuh cinta, melainkan dalam derita yang tak bisa digambarkan kata-kata. Di atas kayu salib, dengan tubuh yang dipaku dan nafas yang tersengal, Yesus berkata, "Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan."

Kalimat ini bukan hanya jadi bagian dari narasi religius yang dikenang setiap masa Paskah. Lebih dari itu, ia menyimpan daya yang sanggup memutarbalikkan cara pikir dunia tentang balas dendam, tentang keadilan, dan tentang makna sejati dari kasih. Dan menariknya, di tengah dunia yang semakin cepat menilai dan mudah menghakimi, kalimat ini terasa makin relevan bahkan bisa jadi kunci menyembuhkan luka sosial yang terus diwariskan.

Tapi apa sebenarnya makna terdalam dari ucapan Yesus ini? Dan mengapa pengampunan menjadi bagian yang paling sulit, namun paling penting, untuk kita pelajari hari ini?

Memahami Kedalaman Emosi dan Konteks Sejarah di Balik Kata-Kata Itu

Kalau kita hanya membaca kalimat tersebut secara singkat, mungkin terdengar seperti ungkapan keagamaan biasa. Tapi begitu kamu memahami konteksnya, semuanya terasa berbeda. Yesus mengucapkan kalimat itu ketika sedang disalib, dalam keadaan fisik yang nyaris hancur. Ia dicambuk, dihina, dicaci, dijadikan tontonan. Tubuh-Nya berdarah, dan sebagian orang yang menyalibkan-Nya melakukannya bukan karena benci pribadi melainkan karena mengikuti sistem yang lebih besar sistem kekuasaan, ketakutan, bahkan kepatuhan terhadap otoritas.

Di tengah penderitaan seperti itu, kebanyakan dari kita mungkin akan marah, menuntut keadilan, atau setidaknya mempertanyakan, "Mengapa ini terjadi padaku?" Tapi Yesus justru mendoakan para algojonya. Ia tidak meminta pembalasan. Ia tidak menuntut pengakuan. Ia malah menunjukkan belas kasih, bahkan saat keadilan tidak berpihak pada-Nya.

Konteks historis ini penting karena menunjukkan bahwa ucapan Yesus bukan ucapan simbolis belaka. Ia adalah bentuk nyata dari kekuatan moral dan spiritual. Ia menunjukkan bahwa bahkan di bawah tekanan sistem yang kejam, manusia masih bisa memilih kasih. Itulah yang membuat kalimat ini bukan sekadar religius, tapi revolusioner.

Pengampunan Bukan Tentang Lupa, Tapi Tentang Melepaskan Diri dari Rantai Luka

Banyak orang berpikir bahwa memaafkan itu artinya melupakan atau mengabaikan kesalahan. Padahal, pengampunan bukan berarti membenarkan tindakan salah. Ia bukan tentang menghapus ingatan, tetapi tentang membebaskan diri dari beban emosi yang menghancurkan dari dalam.

Kamu mungkin pernah terluka oleh ucapan, pengkhianatan, atau tindakan yang tidak adil. Rasa marah dan kecewa itu sangat manusiawi. Tapi yang sering tidak kita sadari adalah bagaimana luka itu menyandera pikiran dan emosi kita setiap hari. Dendam memang terasa memberi kekuatan sesaat, tapi dalam jangka panjang, ia meracuni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun