Malam itu hening. Tak banyak yang berkata-kata. Di sudut gereja, beberapa orang duduk diam, ada yang berdoa dalam hati, ada pula yang meneteskan air mata. Mereka sedang melakukan tuguran tradisi yang mungkin bagi sebagian orang terdengar asing, tapi sesungguhnya mengandung makna spiritual yang dalam.
Kamis Putih bukan sekadar hari dalam kalender gereja. Ini adalah momen yang menyimpan makna emosional, historis, dan teologis yang tak ternilai. Dan di tengah peringatan Perjamuan Terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya, ada satu bagian yang sering terlewatkan namun justru sangat menyentuh yaitu tuguran.
Apa itu tuguran? Mengapa penting? Dan bagaimana relevansinya di zaman sekarang, ketika dunia serba cepat dan manusia makin jarang menyentuh keheningan? Mari kita menyelaminya lebih dalam.
Tuguran Sebuah Jembatan Emosional antara Masa Lalu dan Masa Kini
Tuguran bukanlah ritual kosong yang hanya diulang dari tahun ke tahun tanpa arti. Ia lahir dari momen yang sangat manusiawi dalam kehidupan Yesus saat Ia berada dalam tekanan batin yang luar biasa di Taman Getsemani. Bayangkan ini malam sebelum pengkhianatan, Yesus tahu bahwa penderitaan besar akan segera datang. Ia tahu akan disalib. Dalam ketakutan dan kesedihan, Ia meminta tiga murid terdekat-Nya Petrus, Yakobus, dan Yohanes untuk berjaga dan menemani-Nya berdoa. Tapi, apa yang terjadi? Mereka malah tertidur.
Di titik inilah tuguran menjadi simbol. Bukan hanya tentang berjaga secara fisik, tetapi tentang hadir secara utuh. Tuguran mengajak kamu untuk menjadi murid yang tidak tertidur. Menjadi seseorang yang bisa tetap sadar, penuh empati, dan bersedia menemani dalam penderitaan baik penderitaan Kristus maupun sesama manusia hari ini.
Melalui tuguran, Kamis Putih menjadi lebih dari sekadar seremoni. Ia membuka ruang untuk menghadirkan kembali kemanusiaan Kristus dalam kehidupan nyata. Dan di sinilah maknanya menjadi sangat relevan untuk siapa pun yang pernah merasa sendiri, terluka, atau tak dipahami.
Kehadiran yang Penuh Makna di Tengah Keheningan Malam
Tuguran dilakukan dalam diam. Tidak ada kebisingan, tidak ada hiruk-pikuk. Dalam tradisinya, tuguran biasanya dimulai setelah misa Kamis Putih selesai, di mana Sakramen Mahakudus diarak dan disemayamkan di altar khusus. Umat kemudian bergantian berjaga dan berdoa secara pribadi di hadapan Sakramen tersebut.
Namun, jangan bayangkan suasananya kaku atau membosankan. Justru dalam keheningan itulah terletak kekuatannya. Ketika kata-kata tak lagi cukup untuk mengungkapkan doa dan rasa, keheningan menjadi bahasa spiritual yang paling dalam.