Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Pengampunan Menjadi Revolusi yang Mengubah Dunia

18 April 2025   10:09 Diperbarui: 18 April 2025   10:09 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Salib.Pixabay.om/Didgeman 

Penelitian di bidang psikologi bahkan menunjukkan bahwa menyimpan dendam bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan tidur. Sementara itu, orang yang mampu memaafkan cenderung lebih sehat secara mental dan fisik. Otak pun menunjukkan perubahan positif ketika seseorang secara tulus mengampuni.

Yesus tidak mengampuni karena Ia harus, tapi karena Ia tahu bahwa kebencian tidak akan memperbaiki apapun. Bahkan dalam kondisi yang tampaknya tanpa harapan, Ia memilih untuk melepaskan beban itu, agar kasih tetap menjadi pusat dari segalanya.

Ketidaktahuan Akar dari Banyak Luka Sosial yang Terus Terulang

Salah satu bagian paling menyentuh dari kalimat Yesus adalah: "...sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan." Ini bukan pembelaan bagi para pelaku kekerasan. Tapi ini adalah pengakuan bahwa banyak tindakan kejam di dunia lahir bukan dari niat jahat, tapi dari ketidaktahuan, kebutaan emosional, atau ketakutan yang membutakan hati.

Fakta ini seharusnya mengubah cara kita melihat konflik sosial yang terjadi saat ini. Ketika seseorang menghina karena perbedaan, ketika ada kebencian yang dilontarkan karena beda keyakinan, atau ketika keluarga saling menjauh karena beda pandangan, besar kemungkinan semua itu berakar pada ketidaktahuan dan miskomunikasi.

Yesus mengenali fakta ini lebih awal. Ia tidak hanya melihat tindakan fisik orang-orang yang menyalibkan-Nya, tapi juga mengenali kebingungan spiritual yang melatarbelakangi semuanya. Dan dalam mengenali itu, Ia tidak membalas, melainkan memohonkan pengampunan.

Di dunia yang serba cepat hari ini, kita sering terburu-buru menghakimi orang. Padahal, kalau kita berhenti sejenak untuk memahami latar belakangnya, bisa jadi kita akan mengurangi begitu banyak konflik yang tak perlu. Pengampunan bukan soal siapa yang salah atau benar, tapi soal bagaimana kita bisa mengubah cara melihat manusia lain sebagai makhluk yang sama-sama belajar.


Dari Salib Hingga Dunia Digital yang Penuh Ujaran Kebencian

Kalimat Yesus tidak hanya berlaku dua ribu tahun lalu. Ia berlaku hari ini di tengah dunia digital, di antara kolom komentar media sosial, di ruang keluarga yang renggang karena politik, dan di setiap hati yang dilukai oleh ekspektasi yang tak terpenuhi.

Saat ini, dunia terasa seperti medan tempur opini. Satu kalimat bisa membakar emosi ribuan orang. Dalam iklim ini, kalimat Yesus menjadi seperti oase di padang pasir: tenang, sejuk, tapi juga penuh tantangan untuk dijalani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun