Kita hidup di dunia yang tak luput dari luka. Kadang, luka itu datang dari orang yang kita percaya. Kadang, dari diri sendiri. Tapi pernahkah kamu membayangkan bahwa justru dari luka, cinta bisa tumbuh? Dan dari pengkhianatan, pengampunan bisa lahir? Salib, bagi banyak orang, hanyalah simbol biasa yang ada di gereja atau kalung perhiasan yang menggantung di leher. Namun bagi mereka yang benar-benar merenunginya, salib menyimpan pesan paling dalam tentang cinta dan pengampunan yang bisa mengubah cara pandang kita terhadap hidup, relasi, bahkan terhadap diri sendiri.
Membicarakan salib bukan sekadar soal agama. Ini tentang kemanusiaan. Tentang bagaimana penderitaan bisa melahirkan kasih. Tentang bagaimana pengampunan, meski berat, bisa membebaskan. Mari kita telusuri lebih dalam pesan cinta dan pengampunan yang mengalir dari kisah salib. Bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai panggilan hidup.
Ketika Cinta Tidak Lagi Romantis
Cinta yang dimaknai melalui salib jauh dari gambaran romantis seperti yang sering kita lihat dalam film atau novel. Salib adalah cinta yang terluka, namun tetap memilih untuk memberi. Cinta yang tidak menghindar dari penderitaan, bahkan memeluknya demi kebaikan orang lain. Inilah yang membuat salib menjadi simbol cinta paling jujur dan nyata.
Yesus tidak hanya mati di kayu salib karena pengkhianatan atau kekejaman politik saat itu. Ia memilih jalan salib sebagai ekspresi cinta yang tanpa syarat, cinta yang tidak memaksa, tidak menghitung untung-rugi, dan tidak mengharap balasan. Cinta semacam ini menjadi sangat relevan ketika kita hidup dalam dunia yang sering kali bersyarat dalam memberi kasih. Cinta berdasarkan kepentingan, status, atau kenyamanan. Padahal, cinta sejati diuji justru ketika semuanya terasa sulit.
Salib mengajarkan bahwa mencintai berarti tetap hadir meskipun tidak dipahami. Tetap bertahan meskipun dilukai. Cinta seperti ini bukan lemah. Justru di situlah kekuatan cinta yang sejati lahir di saat kita mampu memberi tanpa pamrih.
Pengampunan dalam Luka
Tidak ada yang mudah dari pengampunan. Bahkan bagi Yesus sendiri, yang sedang tergantung di kayu salib, doa pengampunannya bukan datang dari rasa tidak sakit. Ia merasakan seluruh beban fisik dan emosional. Namun, dari salib  itulah ia berkata, "Ya Bapa, ampunilah mereka." Kata-kata ini bukan basa-basi religius. Ini adalah keputusan sadar untuk tidak membalas kebencian dengan kebencian.
Dari salib, kita belajar bahwa pengampunan bukan tentang melupakan kesalahan, tapi tentang membebaskan diri dari belenggu dendam. Luka yang tidak diampuni bisa menjadi racun yang merusak dari dalam. Banyak orang hari ini hidup dengan beban luka masa lalu yang tidak pernah selesai. Hatinya penuh sesak oleh kemarahan yang tak kunjung reda. Padahal, yang paling menderita bukan orang yang kita benci, tapi diri kita sendiri.
Pengampunan adalah proses. Kadang butuh waktu. Tapi yang paling penting, itu adalah pilihan sadar. Pilihan untuk sembuh. Salib tidak memaksamu untuk berpura-pura tidak terluka, tetapi mengundangmu untuk melewati luka itu dengan kasih, bukan kebencian. Ketika kamu memaafkan, kamu tidak sedang membenarkan apa yang dilakukan orang lain. Kamu sedang memilih untuk tidak membiarkan luka itu mendikte masa depanmu.