Pada hari Selasa (18/3/2025), pasar saham Indonesia diguncang kepanikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tiba-tiba merosot tajam, mencapai penurunan 7% pada pukul 11.50 WIB. Angka ini membawa IHSG ke level 6.084, titik terendah sejak badai pandemi Covid-19 melanda di tahun 2020.
Kepanikan ini begitu hebat hingga Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menghentikan sementara perdagangan (trading halt) saham di sesi pertama. Pada pukul 11.19, IHSG sudah anjlok lebih dari 5%, menyentuh angka 6.146,91.
Kejatuhan IHSG diawali dengan ambruknya saham-saham perusahaan besar dan ternama, yang biasa disebut bluechips. Bank-bank raksasa dan perusahaan teknologi milik para konglomerat ikut terseret dalam gelombang merah ini.
Tak hanya itu, perusahaan-perusahaan lain milik konglomerat Indonesia juga menjadi pemberat bagi IHSG. Saham DCI Indonesia (DCII) menjadi salah satu yang paling terpukul, anjlok 20% ke level 115.800 dan menyentuh batas auto rejection bawah (ARB).
Sebelumnya, saham DCII sempat mengalami kenaikan harga yang luar biasa, selalu menyentuh auto reject atas (ARA) setiap harinya. Namun, keadaan berbalik 180 derajat setelah saham ini dikeluarkan dari papan pemantauan khusus.
Faktor Pendorong Longsornya IHSG
Mengutip berbagai sumber informasi yang saya kumpulkan, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu utama IHSG terjun bebas.
Pertama, kondisi keuangan negara yang kurang sehat. Hingga akhir Februari 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit Rp31,2 triliun, atau 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pendapatan negara juga anjlok 20,85% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, terutama karena penerimaan pajak yang turun drastis.
Kedua, rumor tentang reshuffle kabinet Merah Putih menyusul isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Kementerian Keuangan dipecah menjadi dua, Kementerian Keuangan yang gosipnya akan dipimpin oleh Thomas Djiwandono dan Kementerian Penerimaan Negara yang rumornya dikepalai oleh Anggito Abimanyu.
Rumor ini sudah dibantah langsung oleh Menkeu Sri Mulyani “Saya tegaskan saya ada di sini, berdiri dan tidak mundur,” tegasnya. Seperti dilansir Kompas.Com. Selasa (18/03/2025).
Krisis Kepercayaan Melanda Pasar
Selain masalah defisit anggaran dan rumor Sri Mulyani, anjloknya IHSG sepertinya lebih banyak disebabkan oleh faktor trust issue alias krisis kepercayaan para pelaku pasar terhadap potensi ekonomi Pemerintahan Indonesia saat ini.
Hal tersebut tercermin dari penurunan peringkat pasar saham Indonesia oleh Morgan Stanley dan Goldman Sachs juga memperburuk keadaan. Ini mencerminkan kekhawatiran investor global terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Menurut laporan Bloomberg News, Goldman Sachs mengubah peringkat saham Indonesia dari 'overweight' (direkomendasikan) menjadi 'market weight' (netral).
Mereka juga mengubah rekomendasi untuk surat utang negara berjangka 10-20 tahun menjadi 'neutral', padahal sebelumnya surat utang ini menjadi salah satu pilihan favorit.
Keputusan ini diambil setelah Goldman Sachs memperkirakan bahwa defisit anggaran Indonesia tahun ini akan naik menjadi 2,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yaitu 2,5%.
Intinya salah satu investment bank terbesar di dunia ini, khawatir dengan risiko keuangan negara yang bisa meningkat akibat berbagai kebijakan dan program baru dari Presiden Prabowo Subianto, yang terlalu banyak bercerita tentang "spending" dan belum jelas benar arahnya.
Goldman Sachs bukan satu-satunya yang merasa kurang optimis dengan perekonomian Indonesia. Sebelumnya, investment banking top dunia lain, Morgan Stanley juga menurunkan rekomendasi saham Indonesia pada bulan Februari lalu.
Mereka menilai bahwa pasar saham Indonesia kurang menarik untuk saat ini.
Pasar saham Indonesia memang sedang mengalami tekanan berat. Selain masalah kebijakan dalam negeri, ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang dan perlambatan ekonomi domestik juga menjadi faktor penyebab. Akibatnya, banyak investor asing yang menarik dana mereka dari Indonesia.
Kondisi pasar saham Indonesia, menjadi salah satu yang terburuk di dunia. belakangan ini. Nilai tukar rupiah juga sempat longsor ke titik terendah sejak krisis ekonomi tahun 1998.
Meskipun efisiensi anggaran terus digencarkan, tapi karena cenderung tanpa grand design yang jelas,dan terkesan tak konsisten.
Paradoks Efisiensi Anggaran
Seperti disampaikan Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan, akan ada penghematan anggaran yang mencapai Rp750 triliun, yang sudah berjalan Rp309 triliun dan sisanya menyusul.
Namun, anehnya di sisi lain berbagai kebijakan Pemerintah tak menunjukan itu, lantaran cenderung boros, misalnya program Makan Bergizi Gratis yang terkesan jor-joran dan dipaksakan.
Belum lagi jumlah kementerian dan lembaga yang obesitas serta ada pula program 3 juta rumah. Semuanya tentang belanja, belanja, belanja.
Di sisi lain, program yang menyasar penambahan pendapatan tak pernah terdengar, coretax yang digadang-gadang berpotensi menggali lebih dalam pendapatan dari pajak, belum berjalan sesuai harapan.
Badan investasi baru milik Pemerintah, Danantara, yang katanya akan menjadi mesin pengungkit baru monetasi aset-aset negara di luar APBN, dalam jangka waktu pendek belum akan mampu menambal bolongnya pendapatan.
Untuk urusan Danantara, Fitch Ratings Lembaga Pemeringkat kelas dunia, melihat ada potensi risiko yang perlu diwaspadai dari pembentukan badan investasi baru ini.
Dalam laporan yang baru-baru ini dirilis, Fitch menilai bahwa Danantara berpotensi menambah beban utang tak terduga (liabilitas kontinjensi) bagi pemerintah Indonesia.
Jika proyek-proyek nasional didanai melalui Danantara atau BUMN di bawahnya, risiko keuangan negara dalam jangka panjang bisa meningkat.
Oleh sebab itu para analis dari Goldman Sach dan Morgan Stanley berpendapat, justru memperkirakan kebijakan-kebijakan ini bisa membuat utang negara semakin besar.
Selain faktor domestik, faktor global terutama kebijakan perang tarif yang diluncurkan oleh Presiden AS Donald Trump menciptakan ketidakpastian global, membuat investor lebih memilih aset yang lebih aman.
Oleh sebab itulah, Surat Berharga Negara (SBN) dan komoditas emas sekarang menjadi buruan para investor sehingga harga emas terus menciptakan rekor baru, saat ini harga emas Antam naik Rp 14.000 menjadi Rp 1.759.000 per gram, rekor tertinggi sepanjang masa.
Harapan Kepada Pemerintah
Untuk merespon fluktuasi di pasar modal seperti yang terjadi kemarin, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas dan regulator industri keuangan di Indonesia,mengeluarkan kebijakan baru, perusahaan yang telah go public bisa membeli kembali saham mereka (buyback) tanpa perlu mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
OJK menganggap kondisi pasar saat ini sangat tidak stabil, sehingga perlu langkah cepat untuk menenangkan pasar.
Apakah respon dari Pemerintah ini sudah cukup, secara teknis mungkin hal tersebut dapat membantu merespon kondisi tersebut jika terjadi di depan.
Namun demikian masih belum cukup jika berbicara secara fundamental, karena akar masalah dari gonjang-ganjing di pasar modal indonesia adalah trust issue atau krisis kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
Trust issue tak hanya sebatas istilah, tetapi sebuah realita psikologis pasar yang sangat kuat. Investor, baik domestik maupun asing, mengamati dengan cermat setiap kebijakan, setiap rumor, dan setiap sinyal yang diberikan oleh pemerintah.
Ketika sinyal-sinyal tersebut tidak konsisten atau menimbulkan keraguan, kepercayaan pun runtuh. Mereka melihat adanya paradoks dalam kebijakan ekonomi, di mana efisiensi anggaran di satu sisi berbenturan dengan kenyataan berbeda di sisi lain.
Ketidakjelasan arah kebijakan, ditambah dengan ketidakpastian global, menciptakan badai ketakutan yang mendorong mereka untuk menarik dana. Pasar modal, yang seharusnya menjadi barometer kepercayaan terhadap ekonomi, justru menjadi cermin dari krisis kepercayaan itu sendiri.
Pemulihan kepercayaan ini membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan teknis; ia membutuhkan transparansi, konsistensi, dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk membangun kembali fondasi kepercayaan yang telah goyah.
Penutup
Insiden anjloknya IHSG pada tanggal 18 Maret 2025 menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Tak terbatas fluktuasi pasar, kejadian ini mencerminkan rapuhnya kepercayaan yang telah lama dibangun.
Pemulihan kepercayaan ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Pemerintah, sebagai pemegang kendali kebijakan, perlu mengambil langkah-langkah nyata untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Transparansi, konsistensi, dan komunikasi yang efektif menjadi kunci utama.
Di sisi lain, pelaku pasar juga perlu bersikap rasional dan tidak mudah terprovokasi oleh rumor yang tidak terverifikasi. Pasar modal yang sehat adalah cerminan dari ekonomi yang kuat, dan ekonomi yang kuat dibangun di atas fondasi kepercayaan yang kokoh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI