Meskipun efisiensi anggaran terus digencarkan, tapi karena cenderung tanpa grand design yang jelas,dan terkesan tak konsisten.
Paradoks Efisiensi Anggaran
Seperti disampaikan Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan, akan ada penghematan anggaran yang mencapai Rp750 triliun, yang sudah berjalan Rp309 triliun dan sisanya menyusul.
Namun, anehnya di sisi lain berbagai kebijakan Pemerintah tak menunjukan itu, lantaran cenderung boros, misalnya program Makan Bergizi Gratis yang terkesan jor-joran dan dipaksakan.
Belum lagi jumlah kementerian dan lembaga yang obesitas serta ada pula program 3 juta rumah. Semuanya tentang belanja, belanja, belanja.
Di sisi lain, program yang menyasar penambahan pendapatan tak pernah terdengar, coretax yang digadang-gadang berpotensi menggali lebih dalam pendapatan dari pajak, belum berjalan sesuai harapan.Â
Badan investasi baru milik Pemerintah, Danantara, yang katanya akan menjadi mesin pengungkit baru monetasi aset-aset negara di luar APBN, dalam jangka waktu pendek belum akan mampu menambal bolongnya pendapatan.
Untuk urusan Danantara, Fitch Ratings Lembaga Pemeringkat kelas dunia, melihat ada potensi risiko yang perlu diwaspadai dari pembentukan badan investasi baru ini.Â
Dalam laporan yang baru-baru ini dirilis, Fitch menilai bahwa Danantara berpotensi menambah beban utang tak terduga (liabilitas kontinjensi) bagi pemerintah Indonesia.Â
Jika proyek-proyek nasional didanai melalui Danantara atau BUMN di bawahnya, risiko keuangan negara dalam jangka panjang bisa meningkat.
Oleh sebab itu para analis dari Goldman Sach dan Morgan Stanley berpendapat, justru memperkirakan kebijakan-kebijakan ini bisa membuat utang negara semakin besar.
Selain faktor domestik, faktor global terutama kebijakan perang tarif yang diluncurkan oleh Presiden AS Donald Trump menciptakan ketidakpastian global, membuat investor lebih memilih aset yang lebih aman.Â