(Sumber: https://i.etsystatic.com/)
Tulang ekor gadis itu seperti terpaku di bangku. Hampir satu jam duduk, dia masih pada posisinya semula. Matanya bersinar, wajahnya berseri menangkap setiap nada dan kata dari depan panggung.Â
"Nyanyian langit," batinnya sembari terus memperhatikan gerakan pengaba yang berdiri membelakanginya, menghadap sekitar empatpuluh penyanyi dan duapuluh pemusik di hadapannya.Â
Tangan pengaba naik turun. Melebar, menyempit, ke kiri dan ke kanan. Kadang lembut, kadang menghentak. Atau, terdiam di satu titik, memastikan lagu dan musik purna. Sempurna.
Ibu gadis itu sesekali menengoknya. Tersenyum.
"Tak salah saya membawanya kemari," pikirnya.
***
Dewi masih berusia sebelas tahun. Dia penyuka musik. Biola adalah sahabat bagi lengan dan jari-jarinya yang mungil. Dia juga mulai menjajal instrumen lain, yakni piano dan gitar.
Buat bocah seumurannya, Dewi beruntung sekali bisa berguru musik di Papua, provinsi di timur Indonesia. Ayahnya, Wolas, adalah seorang pengusaha, putra asli Papua. Ibunya, Gita, orang Bogor. Sah menikah, pasangan baru itu memilih menetap di daratan Irian.
Rambut Dewi ikal. Hidungnya mancung. Wajahnya oval. Tubuhnya langsing. Kulitnya agak gelap.
Dewi baru pindah ke Bogor. Kini gadis itu tinggal bersama neneknya.Â
Beberapa bulan lalu, Wolas tewas akibat kecelakaan. Gita memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Dia tak menunggu lama-lama, karena kerabat kandung Wolas sudah tidak ada. Gita tidak ingin membebani orang lain. Jadi, dia ingin kembali saja ke Bogor, ikut mengelola pabrik konveksi milik orangtuanya, seperti semasih gadis dulu.Â
Tahun ajaran baru, Dewi sudah menjadi murid kelas lima di Bogor.Â
"So pasti senang punya teman-teman baru," kata Dewi meyakinkan diri sebelum pindah.Â
***
"Mama .... huuu huuu ...," Dewi berisak keras dari luar pintu. Tangisannya pecah.
"Ada apa, nona?" tanya Gita setengah berlari dari meja makan, menyongsong Dewi yang sudah membuka pintu depan. Waktu itu adalah jam istirahat pabrik. Jadi, Gita pulang untuk makan siang bersama orangtuanya.
Dewi langsung memeluk pinggang ibunya. Airmatanya terus mengucur, membasahi kaos Gita dan baju putih, seragam sekolahnya.
"Sa dibilang hitam, mamaaa eee," jawab Dewi dalam suara yang makin keras,
Gita tidak menyangka insiden itu bakal terjadi. Geli juga Gita mendengar cerita anaknya, sebab memang benar kulit Gita hitam seperti bapaknya. Tetapi, bahwa Dewi sampai menangis karenanya, itu yang membuat Gita sedikit prihatin.Â
"Nona, kitong makan jo, baru sambung carita," bujuk Gita.
***
"Dorang samua macam heran lia sa pu kulit hitam," jelas Dewi.
Ketika Dewi muncul di sekolah, pandangan murid-murid dan orangtua yang mengantar terarah kepadanya. Melihat dari atas ke bawah. Ada murid yang iseng menyentil rambut keriting Dewi. Atau memperhatikan blak-blakan lintiran halus bulu-bulu di daerah dahi, pelipis, dan lehernya. Dewi masih bisa tahan. Dia diam.Â
Namun, sewaktu Putra - teman sekelasnya yang terkenal usil -mulai berceloteh, "hitam ... hitam..." ke arah Dewi, barulah gadis itu mulai tidak tahan.Â
Dewi menangis. Kaget. Di Papua, tidak ada masalah bahwa kulitnya gelap. Tidak ada yang aneh bahwa rambutnya keriting kecil-kecil, hidungnya mancung.
"Sa memang hitam," pikir Dewi yang tak habis pikir kenapa kulitnya menjadi masalah. Sepanjang jam belajar, usai perkenalan dan karena Dewi terlihat belum bisa menerima respon teman-temannya, guru wali kelas membolehkan Dewi duduk di ruang Bimbingan dan Konseling.Â
"Sabar, nona. Tarada masalah korang hitam. Dorang kaget. Belum biasa, lia macam nona," hibur Gita.Â
Sesuai dengan pesan ibunya, Dewi bersabar, tidak melawan. Lebih baik diam.Â
Hari-hari berlalu. Teman-temannya mulai terbiasa dengan sosok Dewi. Hanya saja, Putra masih suka usil. Teman-temannya kerap terpancing keisengannya sehingga ikut-ikutan memanggil Dewi dengan sebutan "hitam ... hitam...".Â
Dewi yang mulai terbiasa, terus berusaha diam.Â
Di gereja, Dewi berdoa, supaya teman-temannya semua bisa menerima dirinya. Terlebih Putra. Dewi mendoakan Putra untuk berubah, tidak lagi usil atau memancing-mancing perkara dengannya.Â
Kadang, Dewi sedih jika mendengar julukan "hitam" dari grup Putra. Tetapi, dia teringat pesan pendeta, bahwa Tuhan suka dengan anak-anak yang datang ke gereja dan menyanyi dengan hati yang bersih.Â
Bukan hanya menyanyi dengan lagu-lagu, melainkan juga dengan kata-kata dan pikiran. Semua harus seperti nyanyian langit, pikir Dewi, supaya banyak bidadari yang menari.Â
***
Sepulang menyaksikan konser paduan suara dan musik, di rumah sebelum tidur, Gita masuk ke kamar Dewi.Â
"Nona so lia, so dengar, bae betul nyanyian dan musik tadi," kata Gita.
Dewi mengangguk.
"Macam itu, nona. Dorang menyanyi bae betul. Ada suara satu, suara dua, tiga, empat.," tambah Gita.Â
"Jo di musik, ada piano, alat tiup-tiup, biola."
Dewi mengangguk.
"Macam itu, nona. Torang samua beda-beda. Ada kulit putih, sawo matang, atau hitam macam nona. Jo warna-warna torang samuaÂ
bikin cantik," jelas Gita.Â
Dewi sekarang mengerti, mengapa ibunya mengajak dirinya menonton konser yang harga tiketnya lumayan mahal.Â
***
Senin pagi, usai upacara bendera, ketika Dewi dan teman-teman masih menanti jam belajar dengan minum dan membereskan perlengkapan, Putra datang menghampiri.Â
"Hitam  ... hitam...," desis Putra dengan sengaja di dekat telinga Dewi ketika melewati meja belajar gadis itu.
Beberapa teman satu grup Putra tertawa.Â
Dewi yang sebelumnya memilih diam, berdiri. Lalu, mengajak Lia teman sebangkunya ikut berdiri. Mereka berdua berjalan ke taman sekolah yang terletak bersebelahan dengan jendela kelas.Â
Teman-teman sekelas jadi ingin tahu. Sebagian mengikuti mereka berdua dari belakang, sebagian mengintip dari jendela.
Putra dan grupnya tidak mau kalah. Mereka menyusul Dewi dan Lia.Â
Dewi menunjuk bunga-bunga di taman. Bunga-bunga semak aneka warna yang sengaja ditanam oleh sekolah untuk memperindah sekaligus sebagai bahan pembelajaran bahwa tanaman yang murah pun bisa membuat lahan menjadi cantik.Â
Secara tidak langsung, sekolah memberitahukan kepada murid-murid bahwa sesuatu yang mudah didapat justru harus disyukuri dan dimanfaatkan untuk sesuatu yang baik.
"Teman-teman, saya memang hitam. Teman-teman ada yang putih dan sawo matang. Semuanya jadi indah seperti bunga-bunga itu," kata Dewi sembari sesekali melirik Putra dan grupnya.
"Saya hitam. Saya unik. Teman-teman ada yang putih dan sawo matang. Teman-teman semua unik," tambah Dewi.
"Bunga-bunga itu yang warnanya macam-macam itu indah bukan? Seperti di surga," jelas Dewi. "Kulit kita, rambut kita, muka kita yang berbeda-beda, juga indah, seperti di surga."
Teman-teman Dewi yang mengikuti dari belakang maupun yang di jendela mengangguk-angguk.
Putra dan grupnya terdiam. Dari balik salah satu jendela, ibu guru mengintip dan tersenyum.
Bel belajar berbunyi. Dewi, Lia, dan lainnya bergegas menuju meja masing-masing.Â
Suasana kelas menjadi sepi dari julukan "hitam ... hitam...".Â
Dewi terus mensyukuri kulitnya yang hitam dan setia mengumandangkan nyanyian langit buat Tuhan.
***
Keterangan:
Dalam cerpen, terdapat kata-kata yang biasa diucapkan pada percakapan informal masyarakat Indonesia timur. Sa berarti saya, kitong berarti kitorang atau kita orang atau kita atau kami, dorang berarti dia orang atau mereka, lia berarti lihat, pu berarti punya, jo adalah aksen yang lazim dipakai dalam dialog sehari-hari, carita berarti bercerita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI