Kokpit dan Lapindo : Meluruskan Sejarah
Sejarah, bagi sebuah bangsa, bukan sekadar catatan peristiwa masa lalu. Ia adalah fondasi identitas, sumber pembelajaran, dan cermin untuk memahami masa kini serta merancang masa depan. Namun, sejarah tidak pernah sepenuhnya netral. Ia sering menjadi arena perebutan narasi: siapa yang bercerita, peristiwa mana yang ditekankan, dan mana yang dihapuskan atau dikecilkan.
Di Indonesia, wacana ini kembali memanas ketika pemerintah mengumumkan rencana penerbitan 10 volume "sejarah resmi" yang disebut-sebut akan menghilangkan bias kolonial dan meningkatkan kebanggaan nasional. Sayangnya, menurut banyak sejarawan, aktivis, dan politisi oposisi, proyek ini justru berpotensi mengaburkan bagian-bagian kelam sejarah bangsa.
Penundaan peluncuran dari 17 Agustus ke November memberi waktu bagi publik untuk mengkritisi dan mempertanyakan, apakah proyek ini benar-benar demi kebenaran sejarah atau sekadar alat untuk mempercantik citra masa lalu demi kepentingan politik saat ini.
Kontroversi Buku Sejarah Versi Pemerintah
Pengumuman rencana penulisan ulang sejarah nasional oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Mei lalu sontak memicu gelombang kritik. Dengan nada optimistis, sang menteri menyatakan buku baru ini akan "menghilangkan bias kolonial" dan disusun dengan "nada positif".
Namun, di balik jargon positif tersebut, para sejarawan yang sempat mengintip draf awal justru menemukan tanda-tanda pengaburan fakta sejarah. Sejumlah peristiwa besar yang sarat pelanggaran hak asasi manusia - seperti pembunuhan massal 1965--66, penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1998, dan kerusuhan berdarah yang menargetkan etnis Tionghoa - dikecilkan porsinya atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Kritik semakin tajam karena beberapa peristiwa itu berkaitan langsung dengan Presiden Prabowo Subianto, yang saat itu adalah perwira tinggi militer dan diberhentikan dari dinas dengan tuduhan keterlibatan dalam penculikan aktivis. Meski ia membantah dan mengaku hanya menjalankan perintah, menghapus catatan sejarah tersebut dianggap sebagai upaya membersihkan nama tokoh tertentu.
Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung yang kini aktif di bidang HAM, menyatakan ini adalah kemunduran menuju pola kontrol narasi seperti di era Orde Baru. Sejarawan Bonnie Triyana bahkan menyebut metodologinya cacat dan sarat bias politik. Aktivis Ita Fatia Nadia menggunakan istilah "amnesia sejarah" - sebuah lupa kolektif yang disengaja.
Sejarah Tidak Selalu Indah