Pernyataan Menteri Kebudayaan bahwa sejarah nasional sebaiknya bernada "positif" memunculkan pertanyaan filosofis : bisakah kita memoles sejarah kelam agar tampak indah. Jawabannya jelas tidak. Luka sejarah tidak akan sembuh hanya karena tidak diceritakan.
Bangsa-bangsa besar di dunia justru maju karena berani menatap masa lalunya dengan jujur, mengakui kesalahan, dan mengambil pelajaran darinya. Jerman tidak menghapus Holocaust dari buku sejarah mereka; Afrika Selatan mencatat kelamnya Apartheid, bukan untuk membanggakan, tetapi untuk memastikan tragedi itu tak berulang.
Jika Indonesia hanya mengedepankan kisah heroik sambil mengubur peristiwa pahit, maka generasi mendatang akan tumbuh dengan pengetahuan sejarah yang timpang - penuh glorifikasi, minim refleksi.
Benang Merah dengan Kasus Lapindo
Dalam konteks mengkritisi upaya "meluruskan" sejarah versi pemerintah, kita dapat melihat contoh lain bagaimana sebuah peristiwa kelam dikelola narasinya - yakni kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Bencana ini, yang bermula dari pengeboran gas oleh perusahaan milik keluarga Abu Rizal Bakrie pada 2006, menenggelamkan desa-desa, memaksa puluhan ribu orang mengungsi, dan menjadi salah satu bencana industri terbesar di Indonesia.
Setelah bertahun-tahun tarik ulur, pemerintah akhirnya menyelesaikan sebagian ganti rugi dengan menyita aset-aset tak bergerak milik pihak perusahaan. Narasi publik secara perlahan bergeser dari kemarahan pada awalnya, menuju "penutupan buku" seiring tuntasnya sebagian kompensasi. Dalam arti tertentu, kasus ini mulai "diarsipkan" sebagai masalah yang sudah selesai, meskipun banyak korban yang tetap menanggung dampak psikologis dan sosial hingga kini.
Bedanya, pada kasus Lapindo, setidaknya ada penyelesaian sebagian kerugian secara nyata, sehingga sejarahnya masih bisa dituturkan tanpa terlalu banyak luka terbuka.
Kasus Eksodus Timtim : Luka yang Masih Menganga
Berbeda dengan Lapindo, kisah eksodus warga Timor Timur pasca jajak pendapat 1999 adalah lembar sejarah yang masih bergulir tanpa ujung penyelesaian.
Setelah referendum yang dimenangkan kelompok pro-kemerdekaan, sekitar 600.000 warga pro-integrasi meninggalkan Timor Timur. Bersama mereka ada ribuan PNS, anggota TNI/Polri, dan keluarga mereka. Banyak dari mereka kehilangan rumah, tanah, dan harta benda yang tak mungkin dibawa.