"Kok dia udah sukses masih aja jualan course? Serakah banget sih!"
Komentar seperti ini mungkin familiar di telinga kita. Di Indonesia, ada fenomena menarik: stigma sosial terhadap orang sukses yang masih melakukan aktivitas komersial. Berbeda dengan negara lain, di mana monetisasi expertise dianggap hal wajar, Indonesia memiliki resistensi budaya yang unik terhadap praktik ini.
Pertanyaannya: dari mana asal mindset ini, dan bagaimana dampaknya terhadap perkembangan ekonomi digital Indonesia?
Jejak Budaya dalam Mindset Anti-Komersial
Gotong Royong: Nilai Luhur yang Disalahpahami?
Indonesia memiliki warisan budaya gotong royong yang sangat kuat. Tradisi saling membantu tanpa pamrih telah mengakar dalam masyarakat selama berabad-abad. Namun, dalam konteks ekonomi modern, konsep ini seringkali mengalami misinterpretasi.
Membantu tetangga membangun rumah secara sukarela berbeda konteksnya dengan berbagi expertise profesional yang telah dibangun melalui investasi waktu, pendidikan, dan pengalaman bertahun-tahun. Namun, batas antara keduanya seringkali kabur dalam persepsi masyarakat.
Trauma Historis dengan Kekayaan
Selama era Orde Baru, bisnis besar seringkali identik dengan praktik korupsi dan nepotisme. Hal ini menciptakan trauma kolektif dan kecurigaan sosial terhadap orang kaya yang masih aktif mencari keuntungan ekonomi.
Persepsi ini diperkuat oleh kesenjangan ekonomi yang ekstrem di Indonesia. Display of wealth, termasuk aktivitas komersial dari orang yang sudah mapan, seringkali dipandang sebagai insensitivitas sosial.
Kontras dengan Mindset Global
Di negara-negara maju, monetisasi expertise justru dianggap sebagai bagian normal dari value-based economy. Beberapa contoh:
- Gary Vaynerchuk: Entrepreneur dengan net worth puluhan juta dollar yang masih aktif menjual course dan speaking engagement
- Tony Robbins: Motivator dengan kekayaan miliaran rupiah yang konsisten mengadakan seminar berbayar
- Seth Godin: Marketing guru yang terus menerbitkan buku dan course premium
Mereka tidak dipandang sebagai "serakah", tetapi justru dihormati karena terus menciptakan value dan berkontribusi pada knowledge economy.
Filosofi Value Creation
Di Barat, terdapat pemahaman bahwa:
- Expertise adalah intellectual property yang legitimate untuk dimonetisasi
- Melalui produk berbayar, seorang ahli dapat membantu lebih banyak orang secara sistematis dan berkelanjutan
- Revenue dari knowledge products memungkinkan continuous research dan development