***
"Dorang samua macam heran lia sa pu kulit hitam," jelas Dewi.
Ketika Dewi muncul di sekolah, pandangan murid-murid dan orangtua yang mengantar terarah kepadanya. Melihat dari atas ke bawah. Ada murid yang iseng menyentil rambut keriting Dewi. Atau memperhatikan blak-blakan lintiran halus bulu-bulu di daerah dahi, pelipis, dan lehernya. Dewi masih bisa tahan. Dia diam.Â
Namun, sewaktu Putra - teman sekelasnya yang terkenal usil -mulai berceloteh, "hitam ... hitam..." ke arah Dewi, barulah gadis itu mulai tidak tahan.Â
Dewi menangis. Kaget. Di Papua, tidak ada masalah bahwa kulitnya gelap. Tidak ada yang aneh bahwa rambutnya keriting kecil-kecil, hidungnya mancung.
"Sa memang hitam," pikir Dewi yang tak habis pikir kenapa kulitnya menjadi masalah. Sepanjang jam belajar, usai perkenalan dan karena Dewi terlihat belum bisa menerima respon teman-temannya, guru wali kelas membolehkan Dewi duduk di ruang Bimbingan dan Konseling.Â
"Sabar, nona. Tarada masalah korang hitam. Dorang kaget. Belum biasa, lia macam nona," hibur Gita.Â
Sesuai dengan pesan ibunya, Dewi bersabar, tidak melawan. Lebih baik diam.Â
Hari-hari berlalu. Teman-temannya mulai terbiasa dengan sosok Dewi. Hanya saja, Putra masih suka usil. Teman-temannya kerap terpancing keisengannya sehingga ikut-ikutan memanggil Dewi dengan sebutan "hitam ... hitam...".Â
Dewi yang mulai terbiasa, terus berusaha diam.Â
Di gereja, Dewi berdoa, supaya teman-temannya semua bisa menerima dirinya. Terlebih Putra. Dewi mendoakan Putra untuk berubah, tidak lagi usil atau memancing-mancing perkara dengannya.Â