Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebenaran dan Subyektifitas

31 Januari 2023   11:33 Diperbarui: 24 Februari 2023   19:31 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tuntutan kebenaran dan keadilan atas Harsya, mahasiswa UI meninggal karena tertabrak yang dijadikan tersangka (Sumber gambar: kompas.com)

Saya sedang memikirkan kegilaan terjadi dalam kebenaran atau mungkin kita menolak berpikir bersama tidurnya pikiran. 

Saya tidak tertarik untuk mencari kebenaran, karena apa yang sedang kita pikirkan ternyata memang tidak ada kebenaran. Dalam guyonan, "Anda memikirkannya, mereka tidak memikirkan kita."

Mula-mula kita berada dalam kemungkinan, berpikir atau tidak berpikir. Lalu, kegilaan di balik orang-orang yang tidak berpenyakit saraf atau tidak gila bersama orang-orang yang sedang dirasuki kebenaran.

"Di dunia ada perayaan Hari Kebenaran tapi di Indonesia yang ada penggelapan kebenaran, pemutarbalikan fakta kebenaran," kata Sumarsih di tengah massa aksi kamisan, Jakarta, Kamis. (cnnindonesia.com, 24/3/2016)

Mengapa manusia menobatkan dirinya menjadi sang pencari kebenaran?

Salah satu alasan diantaranya, karena kita dan mereka memiliki kebenaran bagai sang pesulap jejadian dan petugas gadungan. Kebenaran, yang pada akhirnya menghilang dalam ilusi kebenaran itu sendiri. 

Tetapi, apa arti kebenaran bagi sang pembual?

Demi kebenaran, sang pembual nampak menari-nari dan tertawa dengan cara menertawakan dan menari-narikan ironi dan parodi untuk dirinya sendiri.

Tidak ada yang tertawa dan menari, melainkan manusia itu sendiri yang menjadi "budak dari kebenaran." 

Nilai kebenaran adalah nilai kemerosotan di Barat dan Timur. 

Saya berpikir, saya tidak sementara berada dalam kebenaran, sosok jejadian dan gadungan. Saya dan mungkin Anda tidak berpikir selamanya tentang peristiwa politik seperti sebelum dan setelah Pemilu.

Lembaga penyelenggara Pemilu berjaga-jaga untuk menghadapi hasil Sidang Sengketa Pemilihan Presiden Tahun 2024 di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mimpi dan celah ini tidak diharapkan kemunculannya.

Peristiwa politik seringkali membuat kita tidak terangsang akibat kebenaran atas kebenaran yang diracuni oleh "kebenaran." Ia ada dalam diri kita. Saya secara pribadi berbicara bukan sebagai negarawan, pemikir atau pengamat.

Anda sedang membuat ramuan racun yang lebih berbisa dari bisa ular beludak. 

Racun itu di kemudian hari disebut sebagai kebenaran dari masing-masing pihak, yang menganggap dirinya paling benar bahkan paling suci.

Mengenai kebenaran terluntah-luntah dan sekarat hingga mati tidak memiliki keterkaitan dengan zaman 'pasca kebenaran' sekarang lagi pemikirannnya menjadi tema menarik. Saya tidak sedang berpikir tentang 'pasca kebenaran' apalagi pemikiran tentang ketidakhadiran petanda transendental. Kebenaran seperti juga halnya keyakinan menjadi obyek pengetahuan bagi persemaian pergerakan politik praktis di banyak tempat.

Nah, dari sini, nalar dan analisis diskursus bakal menjadi menciut jika bukan dikatakan titik ketidakhadiran hasrat untuk pengetahuan dihadapan kekuatan berbahaya dari kepentingan politik yang mengatasnamakan keyakinan tertentu. Saya tidak mengatakan satu kelompok keyakinan atau lebih yang memiliki penafsiran baru. Padahal, di balik satu-satunya kebenaran menjurus ke arah kekerasan konsep atas nama keyakinan individu atau kelompok.

Kebenarang yang Bertopeng

Hasya, seorang mahasiswa mati karena ditabrak oleh pensiunan polisi justeru dinyatakan tersangka. 

Oleh Indonesia Police Watch (IPW), Hasya disebut sebagai double victim, korban ganda. Sudah jatuh, mati, tertimpa tangga lagi. Inilah mungkin kebenaran yang absurd dan bertopeng.

Dikatakan bertopeng karena Hasya dianggap lalai mengendarai kendaraan sehingga tertabrak. 

Dia akhirnya mati. Hasya mewakili si lemah; si penabrak mewakili rezim kebenaran karena di pihak kuasa.

Berpikir tentang kegilaan dari pemikiran, berarti juga tidak sedang berpikir tentang seluruh perangkap yang dibuat oleh rezim kebenaran. Kita tidak sedang meletakkan dan serta-merta memberanikan diri untuk membangun struktur kebenaran.

Dari pihak lain masih menganggap bahwa epistemologi tidak jauh beda dengan kebenaran. Ia menjadi ironi dan ilusi yang berulang-ulang.

Mungkin pula, saya sedang bermimpi untuk membangun kegilaan melalui satu kerangka epistemik lain atau analisis diskursus yang begitu merepotkan cara berpikir yang telah ada. Mungkin, kebenaran terbuat dari tulang belulang manusia purba atau terbuat dari serbuk kayu yang mudah keropos dan hancur. Saat ini dan sampai kapanpun, kebenaran masih menjadi suatu perangkat cukup menggelikan atau membisingkan telinga sejauh kepemilikannya diabsolutkan.

Kita tidak membicarakan tema-tema pengulangan dan perbedaan dalam arus diskursus filosofis, dimana kebenaran diistirahatkan dengan kesenangan lainnya atas kegilaan. 'Ada', 'jelas' atau 'pasti' hanyalah peningggalan pemikiran modern sebagai sumber kebenaran selain pengalaman inderawi.

Saya sedang tidak menjerit sekeras-kerasnya. Saya tidak mengutuk masa lalu, tetapi bagaimana cara membuat selera humor dan panggung politik menghadapi ilusi kebenaran. 

Sulit ditebak dan kebuntuan bagi nalar dininah-bobokan oleh hasrat dan kenikmatan berpolitik. Ini satu kasus dalam peristiwa politik

Meskipun zat beracun tidak berbahaya dan mematikan, malahan kebenaran ilmiah sedang diracik dan disebarkan pengaruhnya tidak menguntungkan karena memang tidak dibicarakan kemana-mana. Dari prosedur ilmiah atau permainan kebenaran  menjadi obat penenang korban doktrin ideologi. Ia menceraikan hasrat, selera, kesenangan, fantasi, dan mimpi. Pada saat titik kelenyapan cahaya kebenaran absolut dan tunggal menyelimuti dunia.

Disitulah kegelapan takhyul muncul dari arah lain. Sistem pemikiran klasik telah lama menggali lubang, tempat dimana kebenaran bersifat dogmatis disebarkan dalam ritus-ritus kuasa yang akan dirayakan tanpa pengarang, penafsir, produser, dan pengkhutbah.

Seiring hilangnya nilai kebenaran tidak berarti berubah seketika menjadi kebenaran yang lain. 

Dari titik tolak ini, akibat dari pengabsolutan kebenaran meletakkan kebenaran lainnya terkutuk dan sakit parah yang pada akhirnya dijemput maut. Dari kebenaran itulah menjadi fatal.

Setiap kali ada ikhtiar menghidupkan kebenaran, saat itu pula kematian dalam seribu wajah dan dari banyak arah akan menjemputnya. Ada banyak wajah dan arah menjadi satu aparatur penjemput maut, diantaranya filsuf, ilmuwan, pengacara,  massa pendukung, agamawan, politisi, dan aparatur negara. Kemana mereka saat kebenaran dengan cahaya yang telah redup?

Betapa sumber cahaya terang benderang berubah dari prasangka kebenaran ke kefatalan yang tergesa-gesa. 

Dunia sudah lama telah ditafsirkan dan dimanfaatkan sesuai logika maupun selera kita masing-masing.

Demi nafsu atau kenikmatan  instan untuk tujuan politik kuasa, akhirnya menjadi monster kecil dalam pikiran yang senang menciptakan kebenaran yang lancung. Akhir dari kebenaran adalah akhir dari tanda keilahian. Selama ini dengan cara penafsiran dan pemahaman teks hampir dikatakan bercorak tunggal, memusat, dan eksklusif di tangan segilintir dan sekelompok orang membuat cara berpikir yang melawan dirinya sendiri. Anda bergumul dalam pemikiran diskursif, maka yang paling penting adalah cara membaca sumber rujukan yang lebih berbeda dan plural.

Apa tujuan dari rujukan yang berbeda dan plural? 

Pembebasan kebenaran dari selera pribadi itulah tugas kita. Anda perlu membebaskan diri sendiri dari belenggu teks. Anda begitu terpaku atau seakan-akan terhipnotis dengan kebenaran-kebenaran yang hanya bersumber dari yang sama dan tunggal.

Sehingga secara enteng terbawa arus dan terlena, seperti buku sebagai obat penenang. Anda  mencoba untuk membenturkan meja buku bacaan dengan sekeras-kerasnya hanya karena realitas itu tidak sesuai dengan selera pribadi. Kita belum terlambat untuk tidak berpikir. Bahwa Anda sesungguhnya telah membangun sebuah rezim kebenaran.

Pada saat tertentu, selera menjadi satu permainan atas kebenaran. Keteguhan atas kebenaran sesuai filsafat Barat untuk mengatasi takhyul dan pemikiran Timur yang tidak tertarik pada mimpi dan ilusi atas kebenaran. 

Kita telah memaksa bagaimana sosok kebenaran berbicara dan beroperasi di sekitar teknisi, administrator, sineas, fotografer, penulis, pembaca, dan masyarakat umum saling memandang terheran-terheran. Mereka dan antara satu dengan yang lainnya sambil meratapi kebenaran dan menghujat dirinya sendiri.

Kita berbicara tentang kebenaran seakan-akan berbicara dengan momok yang menakutkan tatkala sebagian orang telah kehilangan tengggang rasa, melupakan dan mempersilahkan pada yang lainnya untuk berbicara. Ironi terjalin dalam diri orang-orang yang berada dalam kekusutan pikiran dan kekacauan nafsu, padahal setiap pihak berbicara atas nama kebenaran.

Apalagi yang menggugat dari agama yang sama. Kita tidak berpikir, bahwa diskursus pengadilan mengenai siapa yang salah dan siapa yang benar. Dalam hal ini, saya tidak berminat pada cara berpikir dalam wilayah fenomenal, seperti yang dilakukan pihak-pihak yang saling berseberangan secara politik. Pada pihak yang satu menganggap pihak yang lain telah menodai demokrasi atau merusak keadilan. Dari pihak yang satu lagi, berbicara ingin meminta dimana bukti ketidakadilan atau pelanggarannya.

Begitu pula penggugatan kebenaran atas nama agama ditopang corak pemikiran dan posisi keyakinan. 

Aparat hukum mengatakan: "Anda berseru dengan pekikan sakral." "Anda juga yang berlawanan berseru dengan nada yang sama. Saya juga berdiri di tengah Anda semua memiliki pekikan dari keyakinan yang sama." Inilah salah satu permasalahan kritik atas subyek. Seorang melakukan kritik atas kebenaran karena nalar, yang dianggap konyol menghadapi kebenaran dari hasrat.

Dalam pemikiran modern, pergerakan arus produksi hasrat tidaklah selamanya berada dalam kritik. Pada diskursus yang sama, filsafat bertugas untuk membunuh dirinya sendiri karena doktrin yang dibangun telah meracuninya. Diskursus filosofis memiliki keteguhan akan kebenaran yang berbeda dan beragam dengan cara membuat racun dan obat penenang yang baru. Tetapi, hal ini kita mengakhiri kebenaran yang dimiliki filsuf. Rezim kebenaran dari kuasa sesungguhnya menjadi permainan yang belum dirampungkan. Apa konsep 'ada' dan kebenaran, tidak lain memasukkan selingan dari selisih di balik kebenaran bertopeng.

Kita masih terus bermain dengan konsep, mentiranikan penafsiran tatkala tanda tanpa kebenaran tidak hadir di sini. 

Berbicara dengan fasih bersama kekusutan pikiran dan ketangkasan logika memberi kekuatan yang aneh dari tiran. Kebenaran atas kebenaran lainnya melahirkan tiran baru.

Seluruh permainan dalam kehidupan muncul dari kelahiran tiran yang berwajah kebenaran. Untuk melepaskan diri darinya, kita tidak gegabah mengatakan, bahwa kebenaran telah "keluar dari dirinya", tetapi juga "keluar kesana, di dunia luar." Pergerakan tiran dari kebenaran, berarti tidak terikat dengan "di luar" dan "di dalam" dirinya sendiri. Dalam kebenaran, kita tidak akan membebaskan tiran. Sepanjang kita tidak berpikir lagi seputar Aku adalah bukan Aku, begitu pula kita berpikir. Anda adalah bukanlah Anda.

Mengapa demikian siasatnya. Masih adakah satu kebenaran di antara energi titik nol dari kesadaran dan teks? 

Kebenaran tidak lagi paling suram dan paling rendah atas "yang lain", melainkan kebenaran paling bernafsu dan paling busuk. Saya sedang berpikir tentang pria paling bernafsu dan busuk.

Setelah itu, satu-satunya mungkin kebenaran adalah kebenaran tentang kegilaan. Selebihnya, kita tidak melihat kebenaran dalam buku dan panggung, kecuali saya memergoki kesimpulan atas nama kebenaran sesuatu, ternyata tidak lebih dari pepesan kosong. Satu hal lagi, kebenaran adalah ilusi yang menyerupai langkah permainan koin dan catur.

Sepanjang pengetahuan kita mengenai kebenaran, noktah hitam yang masih menempel dalam teks-teks menempatkan ingatan pada keadaan yang mudah terbawa arus. Karena itu, teks-teks tidak lagi memiliki kontradiksi. Setiap ketegangan dan antinomi internal yang membuat bahaya-bahaya dalam kebenaran.

Tidak ada jalan lain, kecuali melepaskan setiap jaringan dan struktur bahasa permukaan dan panggung. 

Setiap orang mencoba menghindari dari pikiran mengenai kebenaran bahasa universal dan bahasa partikular.

Teks pengetahuan dengan bahasa yang tidak tergoyahkan begitu rawan untuk dimanfaatkan demi tujuan yang dianggap kebenaran. Ia dikendalikan melalui tanda-tanda kuasa. Selain itu, menyembunyikan bentuk kepalsuan dalam realitas yang diciptakannya.

Rezim kebenaran dari tanda kuasa yang akan diinstitusionalisasi melalui tubuh-diskursus. 

Tubuhlah menata ulang kesadaran. Permukaan dan panggung tidak lebih lemah dari permainan yang berada di atas dan dibelakangnya.
 
Bentuk permainan rupanya tidak dipantulkan lagi melalui cermin dengan bahasa yang lebih dulu retak dan bercabang-cabang. Setiap kelompok orang membawa kebenaran tanpa cermin yang dibuat final bagi realitas. Bagaimana jadinya jika masing-masing pihak dalam posisi yang mengaku dan mempertahankan kebenaran? Anda berhasrat untuk mencapai kebenaran dengan perbincangan diselimuti ketakukan dan bahkan kebencian.

Selama ini, nilai universal yang ditujukan pada Anda menjadi bahan pemikiran mengenai cermin yang retak dalam kehidupan. Pendapat atau ide dan pemikiran baru akan direnggut atau paling tidak "dibonsai" oleh 'kebenaran tunggal'. Ia tidak pernah diterima secara suka rela.

Saya menyaksikan dari jauh bagaimana individu berpikir secara absolut telah melenyapkan perbedaan dan yang pinggiran dari pemikiran. Satu pemikiran memiliki musuh terberat, yaitu logos, titah atau pesan sebagai subyek. Bagi setiap orang dan kelompok tertentu, logos patut diwaspadai selama terjatuh dalam kebenaran tunggal.

Karena jika tidak, kebenaran tunggal dari ucapan dan teks hukum yang tidak bisa dibantah bakal menjadi korban dari ilusi kebenaran. Sama pentingnya bagi kita ketika membicarakan tentang kewaspadaan atas kesadaran, ketidakhadiran subyek, pembentukan jejak-jejak, imanensi atas perbedaan, dan permukaan tubuh terhadap lainnya.

Semuanya itu merupakan struktur berpikir melalui proses de-logosentrisasi sebagai akhir dari nalar dan kalkulasi itu sendiri. Jadi, kebenaran tunggal berarti mentirankan kebenaran lainnya dan yang dianggap berlawanan dengan keyakinan dan presentasi dari pihak lain. Bagi yang berbeda dan kelainan (otherness) merupakan tiran yang menciptakan noktah hitam bagi realitas.

Pergerakan rezim kebenaran digiring dalam kenampakan begitu berbeda dengan apa yang disebut dalam pemikiran ontologis menjadi determinasi bersama kebenaran ilmiah. Sebaliknya, 'perbedaanlah' yang meringkaskan 'pengulangan' peristiwa. Ia menjadi anti logosentris ala Derrida (2001 : 311).

Selain itu, seseorang berhasrat pada cermin yang retak sebagai kegilaan dari pemikiran, yang bukan syaraf atau orang gila. 

Dari satu kegilaan ke kegilaan lainnya dibalik pembebasan dari kebenaran. Kegilaan tanpa kesalahan yang perlu memainkan suatu permainan tanpa bahasa dan logika filsafat. Berkenaan suatu hal yang penting dalam kegilaan untuk melepaskan bui skandal metafora dibalik kebenaran dengan perlawanan atas kebenaran bersifat "kelabu" dan kesalahan sebagai "cahaya semu."

Kebenaran adalah kerangkeng diciptakan oleh tuan-penanda utama yang dari ia sedang menyembunyikan kebenaran. Tidak ada kebenaran lain, kecuali kebenaran dari, oleh dan untuk sang penguasa. Di sini juga terdapat relasi antara pengetahuan, kuasa dan kebenaran.

Apa yang tidak hadir dalam kebenaran yang memungkinkan menjadi bagian tersendiri dari pengetahuan membagi subyek yang sah. Termasuk pula bentuk penguraian dilihat dari cara pandang yang berbeda oleh masing-masing orang tergantung kebenaran yang dijadikan prosedur pilihan demi meraup keuntungan melalui suatu permainan.

Boleh kita mengatakan, bahwa permainan telah dilancarkan dengan mengurangi kesalahan tanpa kebenaran. 

Atas dasar itu membuat keadaan sedikit demi sedikit akan terungkap tabir gelap yang menyelimuti obyek pengetahuan. Ia bukanlah cara untuk melihat pemikiran analitis yang dipindahkan bukti-bukti dalam struktur teknis, dari laboratoriun dan dalam laporan ilmuan sesuai pengetahuan apalagi keinginan atas kuasa sebagai rezim kebenaran yang bertangan dingin.

Ketersembunyian dan sengaja menyembunyikan kebenaran tanpa temuan menyangkut yang benar atau salah. 

Dari keketatan verifikasi dan tanpa temuan apa-apa memberi alasan mengapa pengetahuan masih memiliki prosedur-prosedur.

Sehingga kebenaran yang dikatakan oleh subyek (para pakar) mengenai bukti-bukti yang cukup bagi pengujian kebenaran. Demi alasan yang didukung oleh bukti-bukti yang cukup, jelas dan meyakinkan dijadikan dasar bagi pernyataan benar atau salah secara logis.

Dalam perkembangannya, pemikiran filosofis tidak lagi menjadi keputusan kritis yang terlanjur didakwah sebagai biang kerok lantaran menyembunyikan kebenaran. Keputusan kritis tidak harus melalui pengujian, temuan, dan verifikasi agar dinyatakan bernilai ilmiah.

Terpenting sekarang adalah bagaimana pengetahuan tidak hanya menyediakan kemampuan secara alamiah. Tetapi, ia juga mengarah pada pengetahuan disesuaikan dengan bentuk-bentuk diskursus untuk mengajukan pernyataan benar dan salah. Dalam pilihan-pilihan tersebut, seluruh pemikiran diskursif tidak mempermasalahkan penyesuaian diri atas keadaan biasa-biasa saja dimana mereka berada dengan keputusan tertentu.

Keputusan kritis dari pemikiran juga membantu mengurai apa yang menjadi kenyataan. 

Bagaimana caranya? Kita mengaitkan suatu obyek pilihan yang menghilang dalam subyek yang dibantu oleh kata-kata.

Pengaruh terhadap kenyataan tidak lagi dikaitkan pada obyek tertentu, kecuali kata-kata yang menopang kebenaran tertentu. Orang biasa mencontohkan dengan satu angka sembilan atau enam, tetapi dilihat secara berbeda-beda oleh masing-masing orang. Seseorang melihat angka enam betul-betul sebagai angka sembilan karena yang bersangkutan melihat dari sudut pandang lain. Sebaliknya, sudut pandang yang lain seseorang menyimpulkan secara logis angka sembilan sebagai angka enam.

Kebenaran Menentang Kebenaran itu Sendiri

Kini, kebenaran di bawah bayang-bayang kebenaran itu sendiri. Kesahihan disiksa oleh kebenaran. 

Pemikiran tunduk terhadap kebenaran itu sendiri. Nilai ilmiah tidak melulu pilihan kedua.

Ilusi dari kebenaran sebagai pilihan pertama yang terputus. Nilai yang satu melawan nilai lainnya. Nilai rendah yang partikular menghadapi nilai universal tidak memiliki keterkaitan dengan nilai tertinggi. Satu-satunya yang tersisa adalah kesenangan atas tulisan ilmiah.

Cina mengubah malam menjadi siang lewat matahari artifisial. Fakta dan rumor beradu. Merekayasa 70 juta derajat selsius panas matahari artifisial itu diperhadapkan dengan kebenaran. Ia tidak menyaingi siapa-siapa, kecuali kebenaran ilmiah itu sendiri.

Rekayasa teknologi super canggih hanya menyaingi penemuan baru berikutnya. Suatu kebenaran di bawah bayang-bayang sesuatu yang tidak diketahui.

Sampai kapanpun kita mengingatkan kembali mengenai kebenaran. Caranya tanpa melulu verifikasi dan prosedur ilmiah lainnya. Karena setiap nilai dalam kehidupan tidak lebih dari sekumpulan benda-benda yang diletakkan di museum lintas sejarah pemikiran.

Kebenaran tidak hanya menyangkut nilai, yaitu nilai kosong. Tetapi, ia juga merupakan lubang setan dekil dalam ingatan kita setelah tidurnya pikiran dari orang-orang yang larut dalam kebenaran. Dari kebenaran apa?

Hal demikian membuat pikiran kita mempertimbangkan bagaimana sebenarnya fakta-fakta yang mungkin masih ditafsirkan menurut masing-masing individu. Kebenaran yang boleh jadi terdapat ukuran sesuai dengan fakta-fakta. Gambaran kebenaran dari masing-masing tidak lagi berada dalam kenyataan. Apa bedanya relasi antara subyek sesudahnya tidak berubah terhadap obyek terdahulu? Bicara fakta, banyak orang menunjukkan fakta.

Apa bukti-bukti dari fakta? Berapa orang yang meninggal akibat dari keracunan makanan? Berapa orang yang memiliki kartu jaminan sosial kesehatan? 

Diskursus atas pasien merupakan analisis yang dikaitkan dengan permasalahan tertentu. Penafsiran tidak bergantung pada fakta. Penafsiran muncul karena pemikiran lain yang tidak terpikirkan. Penafsiran sebelum dan saat ini.

Di situlah juga nampak bagaimana subyek sepatutnya menyembunyikan titik kebenaran dari hasil analisis diperhadapkan dengan fakta-fakta terjadi di lapangan. Kita mungkin menghadapi permasalahan yang tidak terjadi sebelumnya dan muncul sebagai bentuk yang lain dan baru dari permasalahan sesudahnya.

Penguraian obyek pengetahuan diarahkan pada tahapan analisis yang tidak bisa dipisahkan dengan relasi antara fakta dan fakta lain, penafsiran dan penafsiran lain. Sejak ada kemungkinan relasi yang beragam, maka diskursus ditujukan pada kebenaran. Jika tidak, bisa saja diskursus akan terperangkap dalam pernyataan benar dan salahnya sendiri.

Kita tidak ingin menolak pertanyaan yang belum memiliki keterkaitan dengan permainan kebenaran apapun paradoks dan ironisnya. Kita berpikir tentang berbagai pilihan, dari hasil keputusan yang memiliki efek penyebaran pengetahuan. 

Titik tolak ironi dimana pengetahuan bekerja tanpa ada sedikitpun mengandung kejanggalan didalamnya.

Dalam alur pemikiran diskursif, bagaimana menggali dan menjerumuskan bentuk permainan sebelumnya dengan cara subyek memainkan suatu permainan sesudahnya. Kata lain, pemikiran diskursif menemukan cara untuk menanamkan hasrat untuk berkuasa melalui permainan. Ia tidak ditemukan sebelum dan sesudah hasrat untuk mengetahui. Kebenaran meletakkan subyek yang tidak mengarahkan pilihan menjadi obyek pengetahuan.

Kematian dari kepakaran seiring dengan kematian pusat, nalar itu sendiri. 

Pada pihak mana Anda anggap yang paling bertanggunjawab? Satu dan kematian atas kebenaran akibat dibunuh oleh teka-teki jagat virtual. Berita hoax, misalnya. Atas keadaan ini, kita ternyata kembali tidak mampu berpikir apa yang telah dipikirkan sesudahnya. "Kebenaran adalah kesalahan yang ditukarkan dari subyek terhadap obyek pengetahuan."

Rezim kebenaran paling efektif dan telanjang adalah kebenaran di balik rezim kuasa dengan prosedur-prosedur yang mengendalikan penafsiran, penemuan, dan pengamatan. Kebenaran lain dari priori pemikiran tanpa bukti berdasarkan persepsi indera. Dari ahli astronomi atau arkeologi perlu menguatkan validitas dan pengujian hipotesis guna menjamin pikiran logis yang dikaitkan dengan fakta-fakta.

Tentang kehidupan spesies lain yang bertempat di luar bumi merupakan gambaran imajinasi. Kita bahkan melucuti kebenaran itu sendiri. Di pihak lain, pikiran dijebloskan dalam pengadilan, sekalipun belum ada bukti-bukti kuat apa pelanggarannya. Dari kesalahan, mungkin saya masih bermimpi tentang kekerasan pikiran yang diuapi oleh sintesis kontinuitas. Ia mengingatkan kita tentang topeng dan catur yang dimainkan oleh orang gila tanpa sakit mental.
 
Lain halnya, dalam sel-sel kehidupan yang lebih kecil tentu saja kebenaran nampak begitu rancu. Tatkala ayah dan anak-anaknya mengurungkan niatnya untuk membakar selembar surat dengan jawaban atas pertanyaan yang tidak jelas. Bunyi surat tersebut menunjukkan keterkaitan dengan berita hoax atau tidak di tengah pencarian kebenaran.

Saat kebenaran sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah kemampuan seseorang untuk mencium jejak-jejak hoax di balik teks surat yang ditujukan pada sang ayah. Anak ingin memulai pembicaraan terbuka tentang apa saja yang dijelaskan oleh ayah sebagai rezim kuasa.

Menyangkut bagaimana upaya peningkatan wawasan keluarga menjadi prinsip keterbukaan. Ia menjadi pengetahuan dalam kehidupan. Ayah bersama ibu dan anaknya tidak perlu memiliki prosedur pilihan yang berbelit-belit. Mereka tidak memiloih jalan ke lubang, berliku dan beronak perlu didedikasikan dalam keluarga melalui cara berpikir dan cara bertindak secara jujur.

Kehidupan dan pengetahuan ibarat kaca dihindari dengan dua cara: pertama, menjaga agar tidak tertutupi debu dan kedua, menjaga agar tidak pecah. Kebenaran tidak ada kaitannya dengan kaca cermin karena seobyek-obyektifnya ia tidak ada rujukan yang patut darinya.

Mungkin inilah paling penting dari lekukan pemikiran diskursif setelah penolakan atas yang Nyata sebagai obyek berhala dalam kebenaran. 

Pengetahuan menunjukkan titik kebenaran yang dimainkan bahwa hasrat seksual sama pentingnya dengan uang yang menggoda.

Kita mencoba untuk bangkit dari cara berpikir paling maju tentang kepalsuan lebih menarik dibandingkan menerima pengetahuan akan kebenaran yang keluar dari tubuh dalam keadaan tidak bersalah. Kepalsuan dianggap kebenaran menandakan akan lebih terbuka dan jelas corak berpikirnya. Lebih baik memilih orang yang sudah diketahui "belangnya" daripada orang yang pura-pura berbicara atas nama kebenaran dan sejenisnya.

Bukan lagi keadaan apa saja yang membuat seorang terperangkap dusta dan kesalahan, melainkan kemampuan untuk menyalurkan tulisan tema perlawanan di bawah aliran produksi intelektual. Anda percaya pada Ayah. Saya masih percaya kebenaran dari hasrat.

Dalam pandangan Ayah, "Jauhilah kepalsuan Anakku saat sedang berbicara pada khalayak atas kebenaran!" "Menulis tentang kebenaran!" Kapankan kita menulis tentang kebenara? Beberapa buku tidak lebih dari ketidakhadiran makna. Ia di hadapan kebenaran dan dalam realitas membuat seseorang untuk tidak ingin banyak pusing.

Proses penting terjadi tidak terelakkan melalui titik pergerakan dari subyek sebagai subyek atau subyek sebagai obyek. 

Tentunya lebih memungkinkan pengetahuan leluasa memasuki pernyataan benar dan salah dalam wilayah a priori pemikiran yang berkaitan penampakan, subyek, dan cara berbicara.

Khusus untuk subyek kuasa begitu beragam dan menyebar dimana-mana dalam kehidupan subyek itu sendiri. Subyek pengetahuan sesuai subyek kuasa dari ayah, anak, orator, orang gila atau orang buta huruf memungkinkan sebagai obyek pengetahuan. Sehingga kuasa dari subyek tidak menjadi permasalahan dalam pengetahuan selama kebenaran memiliki keterkaitan dengan kebenaran yang tidak dikenali.

Akhirnya, ucapan dari naskah resmi terlalu banyak kata-kata yang dipadatkan melalui tulisan menyisipkan kebenaran sebanyak kebenaran yang dimainkan secara tidak jelas dan pasti. Hasrat untuk menciptakan suara tulisan tentang keadaan dari kekacauan realitas. Dari situlah cara produksi diskursus memungkinkan untuk mengurangi prosedur-prosedur pengetahuan yang tidak mengenal kebenaran.

Boleh jadi di tangan seseorang, bahwa kebenaran adalah kebenaran dari masing-masing subyek. Dia yang ingin lebih mengenal siapa sesungguhnya dirinya. Sehingga parodi dan ilusi bersesuaian dengan kebenaran. Diskursus perlu memperhatikan celah kebenaran dan kepalsuan-kepalsuan.

Pernyataan benar dan salah menjadi keharusan untuk mendefinisikan kembali dusta yang datang dari kebenaran. Mungkin, diskursus tentang kebenaran, berarti diskursus atas kebenaran. Dusta dibalik kebenaran yang bertopeng memberi asal-usul keadaan di balik kesalahan.
 
Sejak diskursus tentang pendidikan, pengadilan dan pemerintahan memulai menyusun pemikiran khas bagaimana pentingnya kesenangan akan pengetahuan diselingi kemampuan berbicara berterus terang. Seseorang menganggap muslihat lawannya adalah kegelapan jiwa, tetapi pada saat yang sama ia berbicara kebenaran.

Di balik lembaga bergensi seperti institusi pengadilan atau pemerintahan terdapat kemungkinan dibangun suatu paradoks kebenaran yang bergantung pada subyek kuasa yang mengendalikan dirinya. Tetapi, pengetahuan memberi penjelasan bagaimana 'paradoks kebenaran sebagai banalitas yang memalukan'.

Di tengah orang-orang yang berbicara blak-blakan mengenai kebenaran dan keadilan. Dusta yang bertopeng kebenaran bukan hanya permasalahan kehidupan filosofis, tetapi juga dari kebenaran itu sendiri. Meskipun menjadi obyek pengetahuan, paradoks kebenaran dari kebenaran hanya memperolok-olok dirinya sendiri.

Dalam paradoks inilah, kita mendengarkan dan bahkan terlibat dalam pemikiran, bahwa kata-kata atau pidato yang mengandung pujian tentang muslihat bermanfaat untuk mengingatkan kita pada kebenaran. Berbicara berterus terang tidak menyoroti dan memperjuangkan kebenaran dalam wilayah yang sama. Apa yang dianggap jelas dan pasti tidak lebih dari keraguan atas kebenaran yang berbalik arah menuju lingkaran himne yang ironis.

Kita masih terjatuh dalam lubang yang sama dengan cara berpikir berada dalam himne yang ironis terhadap kehormatan, kudus, dan tentu saja asal-usul kebenaran. Paradoks kebenaran dibalik kebenaran berkali-kali diajukan pada wilayah pemikiran diskursif. Ia yang menunjukkan pada subyek yang percaya dengan subyek yang berbicara berterus terang.

Kebenaran seperti Kencan Buta

Lawanku bukan lagi kebenaran dan paradoks-paradoksnya, Kemampuan seseorang "bersilat lidah" untuk menunjukkan pihak mana berada dalam pernyataan benar atau salah mesti dinilai dan dianalis dari sudut pandang yang berbeda. Yang berbeda atau perbedaan itulah akan memicu sudut pandang yang berbeda pula. Suara-suara kebenaran pada saat tertentu menjadi lawan dari subyek yang berlindung dibalik kebenaran yang berbeda.

Suara kebenaran seakan-akan terjanggal dalam kerongkongan. Ia tersendat oleh air liur setelah bersilat lidah dalam forum ilmiah atau sidang pengadilan dan di ruang kebebasan berbicara dan menulis lainnya. Artikulasi kebenaran dipolesi oleh kepandaian berbicara yang terdengar masuk akal atau logis. Ia sesungguhnya tidak termasuk mimpi tentang kedalaman selera yang kosong.

Berbeda dengan kebenaran yang dimulai berbicara penuh gerakan tangan dan mimik yang serius, padahal tidak demikian adanya. 

Seseorang tidak lagi berada dalam mimpi dan seluruh bentuk kesalahan sejauh kegilaan menemuinya.

Kata lain, kegilaan telah terlepas dari mimpi dan ilusi. Analisis memberi ruang untuk diartikulasikan dengan relasi kegilaan terhadap diskursus. Mimpi dan ilusi tidak lagi bertugas untuk mengatasi struktur kebenaran dirinya.

Ketidakhadiran muslihat dari kebenaran telah keluar dari mimpi dan ilusi setelah mengatasi kebenaran sebelumnya yang membuat 'kita tidak ada, karena kita tidak berpikir'. 

Kebenaran menjadi titik keraguan filosofis.Dalam kasus manapun, dia punya hasrat sanubarinya. Ia menjadi lawan seseorang yang begitu lihai berbicara.

Kaum moralis meyakini jika seseorang tidak bisa mendustai mata batinnya. Meskipun mendustai berkali-kali pada orang lain. Jika bukan pikiran terbelunggu. Dirinya sendiri yang akan tersiksa. Mereka berbicara berterus terang tanpa paradoks permainan kebenaran sedikitpun akan membantu imajinasi untuk mengungkapkan lintasan pemikiran menerobos batas-batas subyek pengetahuan.

Apa yang saat ini seseorang berbicara berterus terang sesuai kebebasan berpikir. Ia bukan kebebasan berujar kebencian pada yang lainnya tertahan dalam kebenaran sebagai subyek pengetahuan.

Sebaliknya, keadaan tertentu dari seseorang tidak pernah untuk melepaskan dirinya dari nalar. 

Akhirnya, ia menjadi perbudakan tanda kebenaran yang dijajal ibarat "jurus mabuk" dan secara serampangan.

Apalagi saat kita ingin berhasrat untuk mengukur permukaan segi tiga, segi empat atau jajaran genjang. Ia tidak memiliki keterkaitan dengan kesenangan yang biasa-biasa saja, malahan menyesuaikan diri dengan pilihan-pilihan bersifat universal dari yang partikular dengan selisih-selisih diantara keduanya.

Paradoks dan ilusi kebenaran setelah sekian lama menjelma menjadi subyek dan pusat finalitas yang mengancam wilayah diskursus filosofis dalam kegilaan. Ada dua tantangan diskursus filosofis, meliputi (a) selingan dan (b) selisih. Melalui cara selingan yang akan dikalkulasi sebanyak jumlah pengulangan titik peristiwa kesenangan tanpa akhir.

Sementara kekerasan teks, kekerasan teoritis, kekerasan bahasa, kekerasan imajiner, dan kekerasan lainnya memiliki efek langsung dari dunia luar. Suatu saat kebenaran berubah menjadi bentuk kekerasan yang luar biasa.

Akibat persentuhannya sejak awal dengan dunia luar, maka keterlibatan diskursus filosofis. Kesenangan direnggut dengan selingan melalui kekerasan. Jenis selingan kekerasan ini patut diragukan.

Tetapi, kebanyakan orang mengimpikan akan kesenangan hidup dalam kedamaian diselingi dengan teater kekerasan berupa perlombaan anti pemikiran reaksioner. Pria menjadi mesin tidak menggunakan ruang sebagai cara untuk memasuki produksi kesenangan.

Pada permukaan tubuh yang nampak di depan kursi hanyalah suguhan kopi bersama pria lain. Ia sambil menuntun aliran pembicaraan yang berpindah dari aliran air ke bunyi yang melebihi permukaan tubuh. Aliran kopi diurai dalam produksi kesenangan merupakan peristiwa pengetahuan disaat perbincangan berlangsung.

Kesenangan dan mesin mimpi mengalirkannya permukaan kursi dan permukaan tubuh dari masing-masing pria lagi menikmati secangkir kopi. Kesejajaran permukaan kursi dan tubuh dari satu kumpulan pria yang tidak terpikirkan. Kursi dan tubuh belum terbangun segi empat tidak sama sisi atau segi empat panjang dengan segi empat sama sisi atau bujur sangkar.

Struktur permukaan segi empat menjadi selingan kekerasan pikiran tidak memiliki ukuran yang sama dengan permukaan sebuah kursi dan tubuh. Kekerasan pikiran terjadi manakala tidak memiliki keterkaitan permukaan kursi, tubuh dan segi empat dengan metode pengukuran yang sama dari setiap permukaan.

Ketidakterukuran diambil dari pilihan-pilihan yang berbeda selalu keluar dari representasi pikiran. Kita dapat memikirkan setiap permukaan kursi, tubuh dan segi empat yang mengalirkan obyek pengetahuan dengan titik koordinat tertentu, sekalipun tidak lebih dari permainan yang tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya.

Dari kebenaran geometris, kita melihat setiap sudut permukaan tidak menjadi selisih, sekalipun menjadi kebenaran yang diragukan. Selisih yang dikuantitaskan dari kualitatif disaat peningkatan kesenangan sebagai akibat pengurangan dari penderitaan atau sebaliknya.

Kita masih teringat suatu ungkapan yang diketahui secara umum, bahwa "uang satu milyar bukanlah segala-galanya, tetapi segala-galanya membutuhkan uang satu milyar." Ya, itu tidak keliru. Satu kebenaran di balik kesetiaan pada yang "nyata" (uang). Disamping kesenangan yang beragam dapat dikuantitaskan dari yang kualitas.

Ia juga bisa memenuhi dirinya melalui prosedur verifikasi yang tidak ada kelipatan kecilnya. 

Kesenangan adalah pergerakan dari ketidakhadiran kelipatan kecil ke kelipatan besar yang serbaberagam tanpa akhir, seperti 'bilangan tidak terhingga' dari permainan sederhana.

Singkatnya, selingan tidak lebih dari paradoks permainan. Kata lain, bahwa permainan sebagai selingan kesenangan yang bersifat partikular tidak tergambarkan dan terputus-putus. Pria bersama kesenangan untuk berdiskusi atau berhitung menjadi selingan pilihan yang tidak perlu bagi kita berpikir keras. Karena itu, ia tidak bisa diselingkan yang telah ada selingannya.

Pilihan-pilihan yang saling menyilang dan menyebar dari kesenangan yang ditopang oleh efek yang ditimbulkannya merupakan selisih bagi yang lainnya. Misalnya, kita bisa menghitung neraca melalui selisih antara debit dan kredit, pendapatan dan biaya pengeluaran tidak sama persis dengan kesenangan yang dilihat dari selisih. 

Perbedaan lain, saat kita mencoba untuk mengetahui berapa banyak kesenangan kita untuk bercermin di depan cermin.

Kita tidak bisa juga menggambarkan bahasa kebenaran jiak hanya di dorong kebencian atas kebenaran lantaran bersikukuh dengan prinsip keyakinan. Demikian pula selisih dari kebenaran geometris melalui kaca cermin.

Katakanlah kursi, tubuh ataupun segi empat permukaan menjaga jarak dirinya dengan nilai universal dari yang partikular dibalik hasrat, dimana asal-usul kesenangan ditemukan selama masih berada di luar representasi pikiran. 

Di situlah kita mulai berhenti berpikir, bahwa bukan permasalahan terukur atau tidak terukur, melainkan selisih ketidakstabilan subyek pengetahuan.

Akibat pilihan-pilihan dari selisih keputusan melalui obyek pengetahuan, subyektifitas tidaklah membelenggu kita.

Teks yang dimainkan seseorang dengan berbicara secara lihai pada lawannya, akhirnya tidak lebih dari momok yang membayang-bayangi identitas dan perbedaan diantara entitas alamiah.

Setelah itu, kebenaran atas kesenangan akan berubah menjadi pendaur-ulang. Dari celah pengetahuan, subyek tunggal tidak dapat dipertahankan melalui subyek kuasa dapat dipersempit menjadi bualan anonim. Karena itu, subyektifitas lenyap dalam kebenaran matematika dengan bentuk-bentuk pengoperasian atas persamaan, perkalian, pengurangan dan seterusnya.

Alur logika yang konsisten menjadi satu ketegaran akan ditemukan dalam kebenaran matematika. Dalam pengoperasiannya bertugas untuk melokalisir setiap potensi kebenaran yang terpoles sebagai kebenaran dalam struktur bahasa. Ketegaran akan kebenaran matematika ditunjukkan dengan obyek pengetahuan sejauh pernyataan benar dan salah berada diantara subyek kesenangan, dimana kebenaran muncul dan lenyap bersamanya.

Setiap kebenaran berada di luar representasi pikiran bisa ditunjukkan melalui kebenaran matematika. 

Kita masih percaya, bahwa tidak adanya jaminan bagi obyek pengetahuan yang menuntun subyek dengan prosedur-prosedur melalui angka yang pasti, nyata dan tidak ambigu.

Kata lain, kebenaran merupakan obyek yang nyata dari pengetahuan yang tidak terukur tanpa melewati diskursus tentang kegilaan pada matematika. Pembentukan kebenaran matematika tidak membuka kedok dari kebenaran. Ia justeru secara terbuka tidak menemukan ketidaktegangan dan ketidakontradiksian dari kebenaran yang diucapkan seseorang.

Celah, pinggiran dan endapan sebagai teks yang tersembunyi melalui pergerakan ganda dari kebenaran berada antara subyek yang berada di luar representasi pikiran (ekspresi) dan hasrat untuk mengetahui dalam ketidaksadaran alamiah. Seseorang berdusta bisa saja dibaca melalui ekspresi, tetapi jejak dalam hasrat batinnya berkata lain. Satu hal yang membuat kita tertawa, bahwa suara batin sejalan dengan kebenaran matematika.

Taruhlah misalnya, petugas  mengatakan empat kilo beras sudah diberikan pada keluarga penerima manfaat. Bantuan beras tepat sasaran. Jumlah beras sesuai ukuran dan ketentuan yang berlaku. Kebenaran matematika menjabarkan dengan cara penambahan dan perkalian (2 + 2 = 4, 2 x 2 = 4). Kebenaran matematika begitu konsisten dan bisa dikualitatif. Empat liter takarannya sesuai dengan kebenaran matematika. Tidak kurang, tidak lebih berarti bukan kepalsuan. Kebenaran diceraikan dengan kepalsuan.

Aduh, "kencan buta" dengan kebenaran ditandai oleh seseorang yang hanya menilai secara sumir dari satu sudut pandang itu sudah petenteng paling benar.

Bagai dua sejoli menyelipkan "kencan buta" dengan "gebetan" bernama kebenaran. Apa jadinya, baru gebetan dengan kebenaran di tiga hari yang lalu sudah bubar jalan. Sisanya, Anda "mengencani" kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun