Rapat atau persidangan selesai, deretan kursi pun akan kosong.
Saat ia kosong, orang-orang yang berhak mendudukinya akan kembali untuk mengisi kursi kosong.
Sekosong-kosongnya kursi dalam hal jabatan, orang per orang masih tetap tertarik. Mungkin, kursi kosong memiliki daya pikat tersendiri.Â
Ia semacam "obyek pujaan" yang menyihir dan menggiur orang-orang sudah lama menantikannya.
Biasanya, para oknum politisi di parlemen, jika kehilangan akal atau tidak doyan berdebat, maka kursi pun melayang.Â
Kasihan kan! Apa salah kursi, sudah mahal harganya, diapa-apain lagi. Tidak perduli, entah beliau "orang terhormat" atau bukan. Kasihanilah diri Anda! Rakyat tidak menunggu belas kasihan dari Anda.
Terpenting, meminjam istilah Jacques Derrida, logo-pin hingga gedung terhormat menjadi "simbolisme ketidaksadaran." Ada dorongan tersembunyi di balik benda-benda, yaitu kesenangan dan khayalan tanpa akhir.
Kursi kosong sebentar akan terisi. Ia segera digantikan, tergantung pertimbangan dan saran dari pihak berwewenang.Â
Atau mungkin melalui uji kepatutan dan kelayakan.Â
Jika perlu, jangan lama-lama kursi kosong. Demikian pula para penyelenggara negara lain.
Mumpung masih ada budaya patrimonial. Gara-gara sang Ayah melempar kursi, Anaknya juga ikut-ikutan.