Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil | [Bagian 1 ] Asmara di Lereng Lembah Senduro

29 September 2019   11:03 Diperbarui: 26 Desember 2020   05:40 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:womantalk.com

Cersil ini  kelanjutan dari cersil sebelumnya. Bisa dibaca di sini:

1. Pendekar Caping Maut

2. Semburat Luka Lama

3. Kembang Pemikat Cinta 

4. Kitab Kalamenjara Raib!

5. Dalam Peluk Maut

6. Akhir Perburuan Kitab Kalamenjara

--------

Bag.1 

Asmara di Lereng Lembah Senduro

Regulo. Nama perempuan muda bertubuh tinggi semampai itu. Kulitnya sawo matang. Hidungnya sedang, tidak terlalu mancung juga tidak pula terlalu pesek. Bibirnya tipis. Orang Jawa bilang nyatis.

Yang paling menarik dari sekujur penampilannya adalah tatapan matanya yang tajam. Tidak seorang pun mampu menatap kedua mata itu berlama-lama. Takut tersihir.

Regulo adalah kembang yang sedang mekar, yang tumbuh di Padepokan Walet Putih. Sebuah perguruan silat yang terletak di lereng Lembah Senduro, kaki Gunung Semeru. 

Sejak usia kanak-kanak, Regulo sudah mencuri perhatian banyak orang. Wajah cantik menawan yang dimilikinya itu mengingatkan pada sosok pendekar perempuan dua puluh tahun silam. Sosok lincah dengan ilmu silat tiada tanding. Murid sekaligus anak pungut dari Nini Surkanti. 

Yup! Benar. Sosok itu adalah Sri Kantil!

Regulo memang anak semata wayang Sri Kantil. Buah cintanya bersama pendekar gondrong tak bernama itu.

Pendekar gondrong tak bernama?

Baiklah. Sebelum membahas lebih lanjut kecantikan Regulo yang diwarisi dari ibunya, kita kembali menengok ke belakang. menelusuri hal ihwal bagaimana akhirnya Sri Kantil menikah dengan pendekar gondrong yang sebelumnya adalah musuh bebuyutannya itu. 

Ini kilas baliknya...

Suatu Siang di Lereng Lembah Senduro

"Sriiii..!!! Tidakkah sebaiknya kita menikah saja daripada bertarung tanpa ujung pangkal begini?" pendekar gondrong itu berseru lantang sembari melentingkan tubuh beberapa depa dari permukaan tanah. Menghindari serangan Sri Kantil yang membabi buta.

"Kembalikan dulu Kitab Kalamenjara yang telah kaucuri itu!" Sri Kantil semakin mengamuk.

"Aku tidak mencurinya, Sri! Sumpah!" pendekar gondrong itu mulai kewalahan menangkis serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Sri Kantil. 

"Jangan membohongiku! Kau mencurinya saat aku mandi di sungai kecil itu! Dasar lelaki pengecut!" Sri Kantil meluruskan kedua tangannya. Siap mengirim satu pukulan lagi yang diarahkan tepat ke dada pendekar gondrong itu.

" Jadi kapan kita akan menikah, Sri?" pendekar gondrong itu  memiringkan tubuhnya ke sana ke mari. Beberapa detik kemudian, tubuh kekar itu sudah hinggap di salah satu dahan pohon. 

Sri Kantil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Menghimpun kekuatan. Napasnya mulai terengah.

"Tuh, kan, Sriii! Kau mulai kelelahan. Aku mengkhawatirkanmu!" pendekar gondrong tertawa renyah seraya merebahkan punggungnya yang terasa pegal.

Wuuusshhh...Bet! Bet! Bet!

Desingan keras serupa angin puyuh mengguncangkan pohon di mana pendekar gondrong itu baru saja hendak memejamkan mata. Pohon itu meliuk-liuk hebat. Lalu merendah. Ujungnya nyaris menyentuh tanah. 

Dan, tuingg! Tatkala pohon itu kembali berdiri tegak dengan kecepatan tak terduga, tubuh pendekar gondrong melesat ke udara seperti anak panah yang terlepas dari busurnya.

Selanjutnya tubuh perkasa itu jatuh bergedebum, tertelungkup mencium tanah tepat di ujung kaki Sri Kantil.

"Baiklah, Sri! Aku mengaku kalah!" pendekar gondrong itu menggapai-nggapaikan tangannya, krengkel-krengkel berusaha bangun. Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya.

Melihat hal itu hati Sri Kantil berubah cemas.

"Ka-u...apakah kau baik-baik saja?" Sri Kantil nyaris menghambur ke arah pendekar gondrong itu. Tapi urung. Sebuah kekuatan maha dahsyat mencegah langkah kakinya.

Gengsi.

Kekuatan gengsi itulah yang membuat Sri Kantil terpaksa diam dan bersikap acuh.

"Sri...sepertinya aku akan mati..." pendekar gondrong itu berkata megap-megap. Lalu diam tak bergerak. 

Sri Kantil mendadak melupakan rasa gengsi yang beberapa menit lalu menguasai hatinya. Dibalikkannya tubuh kekar yang basah oleh keringat dingin itu. Ditekannya dada bidangnya kuat-kuat dengan kedua telapak tangan. Perlahan tapi pasti Sri Kantil menyalurkan energi prana berwarna merah untuk menyembuhkan luka dalam yang dialami oleh pemuda gondrong itu.

"Ayolah! Jangan mati dulu!" Sri Kantil mulai panik saat mengetahui tubuh yang terbujur di hadapannya itu sama sekali tidak merespon energi yang diberikannya. Tubuh itu membiru, kaku dan dingin.

Di ambang rasa putus asa, mendadak Sri Kantil teringat sesuatu. Jurus langka yang pernah diajarkan oleh Nini Surkanti.

Jurus Gelora Napas Buatan!

 

Bersambung ke sekuel 2 Tembang Lelayu Lembah Senduro

***

Malang, 29 September 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun