Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil | [Bag.2] Semburat Luka Lama

27 September 2018   21:22 Diperbarui: 26 Desember 2020   04:53 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:pesona.co.id

Kisah sebelumnya : Pendekar Caping Maut tidak berhasil merebut Kitab Kalamenjara dari tangan Sri Kantil. Sekalipun ia berhasil menebas leher Nini Surkanti. Sri Kantil berhasil diselamatkan dan dilarikan oleh pendekar muda tak dikenal.  

----------

Tubuh Nini Surkanti menggeliat. Kepalanya yang terlepas menggelinding cepat bak roda pedati. Lalu menancap tepat ke lehernya yang berlumuran darah.

Aji Rawarontek! Ya, perempuan berusia hampir satu abad itu memang menguasai ajian tersebut. Dalam sekejap tubuhnya utuh kembali. Tak ada luka sedikit pun. Sembari memainkan tongkat di tangannya ia tertawa terbahak-bahak.

Tawanya menggema ke seantero hutan. Mbah Brojo dan Pendekar Caping Maut yang sedang duduk berhadapan saling berpandangan.

"Kau dengar tawa Nenek Peot itu, Diman? Nini Surkanti hidup lagi!" Mbah Brojo berdiri dari duduknya.

"Kenapa Mbah tidak mengatakan padaku kalau perempuan itu menguasai ajian Rawarontek?" Pendekar Caping Maut ikut beranjak. Pandangannya seketika terbuang jauh.

"Kau nyaris tidak memberi kesempatan padaku untuk mengatakannya, Diman. Hatimu terlalu sibuk dengan pikiran ingin menguasai Kitab Kalamenjara itu!" sembari berkata demikian Mbah Brojo melesat pergi. Membiarkan murid kesayangannya berdiri termangu.

***

Kini dua pendekar berumur saling berhadapan. Nini Surkanti menghentikan tawanya. Sementara Mbah Brojo menatapnya tak berkedip.

"Bandot tua! Untuk apa kau perlihatkan wajahmu di hadapanku?"  sinis Nini Surkanti menegur Mbah Brojo.

"Untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja, Kanti," Mbah Brojo menyahut tenang. Nini Surkanti memutar-mutar tongkat di tangannya. Semakin lama putarannya semakin cepat. Gerakan yang disertai tenaga dalam itu menimbulkan angin semacam puting beliung.

"Kau masih belum berubah, Ni! Masih galak terhadapku! Bukankah aku sudah minta maaf padamu?" Mbah Brojo berdiri sempoyongan. Kedua kakinya bertahan agar tubuhnya tidak terhempas oleh angin yang semakin menggila.

"Kau pikir semudah itu aku memaafkanmu? Dasar bandot karatan tak tahu diri!" Nini Surkanti menambah kekuatan angin yang diciptakannya. 

Merasa kewalahan menghadapi amukan perempuan tua itu, Mbah Brojo terpaksa mengeluarkan aji Penangkal Badai. Bunyi menggelegar keluar dari kedua telapak tangannya. Secercah cahaya meluncur mengenai pergelangan tangan kanan Nini Surkanti. Perempuan tua itu merasakan jemarinya kesemutan. Dan itu membuat tongkat di tangannya terlepas.

Mbah Brojo tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Ia segera melesat maju dan meraih pinggang Nini Surkanti. Dengan sekali hentakan tubuh keduanya melenting ke udara.

Di ketinggian sekitar tujuh depa, Mbah Brojo mendaratkan satu ciuman hangat pada bibir pucat Nini Surkanti.

***

Tubuh kedua pendekar tua itu kembali menyentuh tanah. Nini Surkanti melepaskan diri dari pelukan Mbah Brojo. Dengan wajah memerah ia memungut kembali tongkatnya yang tercecer.

"Kau kurang ajar sekali, Bandot tua!" ia menyumpah. Mbah Brojo tersenyum. Lelaki tua itu tahu, Nini Surkanti masih memendam cinta terhadapnya.

"Kuharap ini terakhir kali aku minta maaf padamu, Ni. Kita ini sudah bau tanah. Tak pantas terus menerus memelihara dendam," Mbah Brojo berkata serius. Nini Surkanti terdiam.

"Muridmu--Sri Kantil, ilmunya sungguh luar biasa! Ia tidak saja mewarisi kesaktianmu, Ni. Tapi juga kegalakanmu," Mbah Brojo mengalihkan pembicaraan.

"Kau tahu siapa dia, Brojo? Sri Kantil itu adalah anak dari Roro Saruem! Perempuan yang telah merebut hatimu dariku!" Nini Surkanti berseru lantang. Mbah Brojo yang semula hendak mengatakan sesuatu, urung. Rasa terkejut membuatnya bungkam beberapa saat.

"Hanya karena rasa kemanusiaan, aku rela memungut anak maduku itu. Menjadikannya muridku. Menggemblengnya sampai ia benar-benar siap mewarisi semua ilmuku. Kau dengar itu, Brojo? Kau dengaaaar...!!!" kembali Nini Surkanti memutar-mutar tongkat di tangannya. Kali ini ia berdiri agak menjauh dari Mbah Brojo. Mengambil ancang-ancang. Mengantisipasi jika sewaktu-waktu pendekar tua itu membalas serangannya.

"Sejak kau hujamkan luka itu di dadaku, Brojo. Aku tak henti berharap agar punya kesempatan membalas dendam pada Roro Saruem. Tapi belum kesampaian keinginanku, perempuan sundal itu sudah mengerang kesakitan dalam keadaan hamil tua dan terluka parah. Kau kira aku akan tatag melanjutkan dendam kesumatku? Tidak, Brojo! Aku juga seorang perempuan. Apalagi aku tidak memiliki anak darimu. Aku bantu persalinan perempuan yang kau cintai itu. Meski nyawanya tidak tertolong akibat kehabisan darah, paling tidak aku sudah berhasil menyelamatkan bayinya. Bayimu!"

Nini Surkanti memutar badan. Entah mantra apa yang dirapalnya, tahu-tahu tubuhnya menghilang disertai kabut tebal yang meninggalkan jejak aroma tak sedap.

Mbah Brojo masih berdiri termangu. Apa yang barusan didengar dari mulut Nini Surkanti membuatnya tak bisa berkata-kata.

"Teka-teki kematian Roro Saruem sudah terjawab sekarang. Mbah Brojo tidak perlu lagi mencari-cari siapa sebenarnya pembunuh istri muda Mbah itu," Pendekar Caping Maut sudah berdiri di belakangnya.

"Jika apa yang dikatakan Nini Surkanti benar, aku merasa amat berdosa. Selama ini aku mengira dialah pembunuh Roro Saruem," Mbah Brojo menghela napas panjang. Pikirannya tiba-tiba terasa buntu.

"Sebaiknya kita kembali ke padepokan," lelaki tua itu akhirnya memutuskan. 

"Tidak, Mbah! Aku tidak akan kembali ke padepokan sebelum berhasil mendapatkan Kitab Kalamenjara itu!" Pendekar Caping Maut mengangkat kedua tangannya. 

"Kalau kau masih juga ngeyel, kau terpaksa berhadapan denganku, Diman! Ingat! Kali ini tak akan kubiarkan kau menyakiti putriku. Sri Kantil!"

Bersambung ke bag 3 Kembang Pemikat Cinta

***

Malang, 27 September 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun