"Cobalah bermain sebentar dengan cambuk itu. Â Ilmumu sudah lengkap. Â Kau bisa memainkan dengan tenaga wantah saja. Tanpa perlu mengeluarkan tenaga dalam. Â Namun kau juga bisa menyalurkan tenaga dalammu lewat cambuk ini. Â Ia juga bisa menjadi saluran puncak ilmumu yang nggegirisi itu."
Pemuda itu berdiri. Â Diikuti oleh kakek itu berjalan di tengah-tengan ruangan goa. Â Kemudian ia memainkan jurus-jurus perguruannya dengan menggunakan senjata cambuk itu.Â
Dengan tenaga wantah suara lecutan cambuk itu menggelegar memekakkan telinga. Â Namun ketika ia menyalurkan tenaga dalamnya, suara lecutannya tidak sekeras semula. Â Namun tentu akibat yang ditimbulkannya akan sangat berbeda.
"Coba, salurkan tenaga saktimu lewat lecutan cambuk itu."
Pemuda itu menganggukkan kepala. Â Ia mendekati sebuah batu, kemudian mengangkat kedua tangan ke atas dan menarik salah satunya ke bawah sedikit, dilanjutkan menarik keduanya hingga bertemu di dada. Â Tangan kiri pemuda itu tetap di dada dengan posisi miring terbuka, tangan kanan memutar cambuknya. Â
Selang sesaat ketika cambuk itu dilecutkan mengarah sebuah batu, maka muncul sinar putih kebiruan yang menghantam batu itu. Â Terjadi sebuah ledakan dahsyat, ujung cambuk yang lentur itu mampu menghancurkan batu hingga lembut seperti tepung.
"Hahaha, sebenarnya kau tidak perlu mendekati batu itu, dari jauhpun tenaga saktimu dapat kau lontarkan. Â Akibatnya akan sama saja, batu itu pasti hancur. Â Nah anak muda tiba waktunya kau harus pergi dari sini. Â Sudah cukup kau di sini, dan melanjutkan tugas yang dibebankan kepundakmu oleh gurumu. "
"Ya kek. Â Terima kasih saya ucapkan kepada kakek, Â Telah memberi kesempatan kepadaku mempelajari ilmu yang sangat istimewa ini."
"Bukan aku yang memberimu kesempatan. Â Berterima kasihlah kepada Hyang Widhi, dialah yang memilihmu untuk mengemban tugas yang berat kelak. Â Siapa namamu anak muda ? Â Sejak bertemu aku belum kenal namamu."
"Namaku Sembada kek. "