"Apa?harus ayah rusak barangmu baru kamu bicara?Tanpa ayah kamu tidak akan bisa memiliki barang itu!" Jawab ayah semakin membentak dengan menatap mataku.
"Aaaaaaaaaaaaaa..." Teriakku dengan histeris dan penuh amarah lalu membantingkan pot kaca didepan ayah dan ibu lalu aku berlari ke kamar dan mengunci pintu. Lagi lagi Air mata ini berderah dengan sangat kencang.
Ibu dan ayah sangat terkejut melihatku seperti ini, mereka merasa aneh dengan sikapku yang tidak seperti biasanya. Orang tuaku terdiam dengan tatapan penuh keheranan. Ibuku menangis dan mengetuk pintuku.
"Sayang, kamu kenapa?buka pintunya yah cerita sama mamah." Ucap mamahku dengan nada khawatir.
Aku pun masih menangis didepan pintu lalu mengusap air mata dan membukakan pintu untuk ibuku.
"Putri kenapa kamu jadi begini nak?Kamu kenapa?Cerita sama ibu sayang. Ibu sangat terluka melihat kamu seperti ini." Ucap ibuku dengan penuh tangisan sambil memelukku.
Kehangatan seorang ibu, kekhawatiran seorang ibu yang sangat membuatku merasa bersalah karena telah membuatnya menangis.
"Bu.. Putri lelah bu, hidup penuh tekanan, awalnya memang putri bisa menerima keinginan ayah apapun itu. Tapi bu, Putri udah ngusahain semua uang Putri bisa, tapi kenapa ayah ga pernah ngehargain perjuangan Putri?Bahkan Ayahpun ga tau apa aja yang sudah putri lalui agar bisa membuat ayah bangga. Tapi Ayah ga pernah melihat anaknya sendiri. Ayah selalu membandingkan putri dengan yang lain. Bu memangnya putri senakal apa? Apakah Putri ga berhak belajar dengan rasa nyaman Putri bukan dengan penuh tekanan seperti apa yang Ayah Pikirkan." Ucapku sambil menangis kepada ibuku.
Setelah ibuku mendengar aku berbicara, ibu memelukku sangat erat.
"Putri anak inu tersayang, Ibu sangat sayang sama Putri. Ayah juga sayang sama Putri. Maafin ibu selama ini membiarkan kamu menahan ini sendirian nak. Ibu minta maaf anakku. Nanti ibu bicarakan ini dengan ayah." Jawab ibuku sambil menangis dan memeluk erat aku. Aku pun memeluk erat sang ibu untuk menenangkan diri.Tak sadar aku terlelap tidur dan ibu menyelimutiku lalu mencium keningku.
Esok pagi aku terbangun, teringat semua apa yang terjadi sangat melelahkan sekali. Tapi aku merasa tidak enak kepada orang tuaku atas sikapku kemarin meski tidak berbicara hal yang buruk pada ayah, tapi aku takut hal yang kemaein terjadi akan lebih berakibat fatal. Aneh sekali rasanya, kemarin seperti bukan aku. Tidak bisa mengendalikan emosi, tapi aku benar-benar lelah atas semuanya. Setidaknya hal ini membuat lega. Semoga Ayah bisa mengerti dan tidak marah lagi padaku.