Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setelah Soft Ghosting, Bangun Komunikasi Sehat | Bagian 2

2 Agustus 2025   17:35 Diperbarui: 3 Agustus 2025   03:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menutup Bab yang Menggantung

Kita mungkin pernah mengalami bagaimana rasanya digantung dalam ketidakpastian—seseorang perlahan menghilang tanpa kata, tanpa alasan yang jelas.

Dalam artikel sebelumnya, “Soft Ghosting, Luka dari Diam”, kita sudah membahas luka yang ditinggalkan oleh bentuk penghilangan yang tak kentara, tetapi menyakitkan. Kini, saatnya kita bicara tentang bagaimana melangkah maju, tentang pentingnya komunikasi sehat agar kita bisa menutup bab yang menggantung dengan lebih bijak.

Setelah memahami dampaknya, kita perlu bergerak ke tahap berikutnya: membangun komunikasi yang lebih sehat, baik sebagai orang yang pernah merasa ditinggalkan maupun sebagai seseorang yang mungkin, tanpa sadar, pernah melakukannya.

Pada akhirnya, setiap relasi yang lebih jujur dimulai dari keberanian untuk menghadapi ketidaknyamanan.

Untuk yang Ditinggalkan: Tutup Bab dengan Mandiri

Jika kita berada di sisi yang ditinggalkan, terjebak dalam ruang abu-abu bernama soft ghosting, ingatlah: kita tetap punya kendali. Menutup bab itu tidak harus datang dari pihak lain. Kita tidak perlu menunggu izin atau klarifikasi untuk merasa damai.

Berikut beberapa langkah konkret yang bisa kita ambil untuk melanjutkan perjalanan—dengan kepala tegak dan hati yang tetap utuh.

Pahami Sinyalnya, Bukan Maknanya
Kita sering tergoda menebak-nebak: “Kenapa dia berubah?”, “Apa salahku?”. Padahal, sinyalnya jelas—respon yang makin jarang, interaksi yang menggantung. Makna di baliknya? Sering kali bukan urusan kita. Itu adalah cermin dari cara dia berkomunikasi, bukan ukuran harga diri kita.

  • Prioritaskan diri sendiri
    Jika kita merasa butuh kejelasan demi ketenangan batin, beranilah bertanya langsung.. Kirim pesan yang jujur, singkat, dan tidak memaksa. Misalnya:
    "Aku merasa ada jarak dalam komunikasi kita akhir-akhir ini. Aku butuh kejelasan tentang apa yang terjadi. Apa pun itu, aku akan menghargai kejujuranmu."
    Atau:
    "Sepertinya ada yang berubah di antara kita. Bisa kita bicarakan ini dari hati ke hati?"
    Ini bukan bentuk memohon, melainkan sebuah ekspresi keberanian untuk menjaga dirimu sendiri.
  • Buat penutupan kita sendiri
    Jika tak ada jawaban, atau justru jawabannya menggantung lagi, kita tetap berhak menutup cerita itu dengan cara kita sendiri.
    • Kurangi paparan: mute story, unfollow jika perlu. Tak perlu blokir jika tak mendesak. Lindungi ruang hatimu.
    • Alihkan energi: Daripada lelah menebak, arahkan energi itu ke hal-hal yang membangun—hobi, sahabat, keluarga, atau impian yang tertunda.
    • Validasi perasaanmu: Kecewa, sedih, marah—semua sah. Jangan tolak rasa itu. Rasakan, lalu lepaskan perlahan.
    • Ingatkan dirimu: Kamu layak untuk dicintai dengan jujur, dihargai dengan jelas, dan direspon dengan penuh kesadaran.

Untuk yang Pernah Melakukannya: Bangun Komunikasi yang Jujur

Jika kamu menyadari pernah atau cenderung melakukan soft ghosting, ini saat yang baik untuk merenung. Tidak semua orang mampu berkata jujur, tetapi memahami dampak yang ditinggalkan bisa menjadi langkah awal menuju kedewasaan emosional.

  • Mengapa sulit berkata jujur? Kenali akar masalahnya:
    • Takut menyakiti hati orang lain
    • Menghindari konflik yang tak nyaman.
    • Belum yakin dengan perasaan sendiri
    • Tak ingin benar-benar menutup peluang
  • Pentingnya kejujuran karena menundanya hanya memperpanjang luka. Satu kalimat jujur, meski tak nyaman, lebih menyembuhkan daripada berminggu-minggu tarik-ulur yang membingungkan. Ini menunjukkan rasa hormat kita kepada pihak lain.
  • Cara Berpamitan dengan Baik: Tidak harus panjang atau dramatis. Kuncinya adalah kejujuran dan kejelasan.
    • Langsung ke inti: “Aku rasa kita tidak cocok lagi, dan aku tidak ingin membuang waktumu.”
    • Fokus pada diri sendiri: “Aku sedang tidak dalam posisi untuk menjalani relasi saat ini.”
    • Jujur, tetapi empatik: “Aku menghargai momen kita, tapi sepertinya aku sedang mencari hal yang berbeda.”
    • Hentikan sinyal palsu: Kalau memang ingin selesai, berhenti memberi sinyal ambigu—jangan like story atau muncul hanya untuk sekadar terlihat. Itu hanya memperpanjang harapan tanpa kejelasan.
  • Hadapi rasa tidak nyaman: Kejujuran memang tak selalu mudah. Namun, ketidaknyamanan sesaat jauh lebih baik dibanding membiarkan orang lain tenggelam dalam kebingungan dan luka berkepanjangan.

Penutup: Budaya Komunikasi yang Lebih Baik

Fenomena soft ghosting mencerminkan dinamika relasi di era digital—banyak yang bisa hadir tanpa benar-benar hadir. Satu hal yang pasti, kita tak harus larut dalam pola itu.

Dengan memilih komunikasi yang jujur dan bertanggung jawab, kita tak hanya menyembuhkan luka pribadi, tetapi juga berkontribusi membangun budaya interaksi yang lebih sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun