Suatu Hari, Aku Menyadari Aku Sendiri
Tak ada pintu yang dibanting. Tak ada suara tinggi. Tak ada perpisahan yang diumumkan.
Yang ada hanya keheningan yang makin lama makin asing. Tatapan yang tak lagi pulang ke mataku. Sentuhan yang terasa seperti rutinitas, bukan kasih sayang. Bahkan, ia tak lagi meraih jemari dan menggandengku saat berjalan—kebiasaan yang selama ini ia jaga meski anak-anak sudah remaja.
Awalnya kupikir ini biasa. Namanya juga hubungan lama, cinta bisa berubah bentuk. Namun, lambat laun aku merasa: yang berubah bukan bentuknya, tetapi arahnya.
Ia tak lagi mengalir ke arahku.
Aku masih membuatkan kopi pagi, masih mencuci baju kerjanya, masih menyapanya dengan nama panggilan yang dulu membuatnya tersenyum. Namun, yang kembali padaku hanyalah sisa-sisa. Respons kosong. Senyum yang tak sampai ke mata.
Hingga suatu pagi, saat aku menyiapkan bekal seperti biasa, aku sadar: aku sendiri.
Bukan dalam arti fisik, lebih secara emosional. Batinku berdiri sendirian di tengah ruang yang dulu terasa hangat.
Cinta ini seperti rumah yang perlahan ditinggalkan, tetapi lampunya masih dinyalakan agar aku tak curiga.
Ketika Kebenaran Terkuak, Dunia Tak Runtuh—Tetapi Duniaku Iya
Aku tak sedang mengintai. Aku hanya kebetulan melihat layar ponselnya yang terbuka di meja, dengan nama yang tidak asing—tetapi terasa terlalu sering muncul dan ... terlalu mesra untuk seseorang yang katanya hanya teman lama.
Aku membaca percakapan itu. Baris demi baris, seperti belati yang menggores pelan, tetapi pasti.
Tidak ada kata "aku mencintaimu". Namun, semua yang tersirat lebih menyakitkan: perhatian yang tak pernah lagi kuterima, tawa yang dulu hanya milik kami, dan janji-janji kecil yang tak pernah lagi ia ucapkan padaku.