Aku tahu ini bukan hanya tentang aku. Namun, tetap saja ... aku bertanya.
Karena cinta, sering kali, membuat kita rela menuduh diri sendiri, hanya untuk tetap merasa masih ada yang bisa diselamatkan.
Akhirnya, di titik itulah aku mulai sadar—bahwa terkadang, luka terdalam bukan karena ditinggalkan ...
Ia muncul justru karena kita tetap memilih bertahan, bahkan saat kita tahu sudah tak dipilih.
Antara Memilih Bertahan atau Melepaskan
Setelah semua terbuka, orang-orang bertanya:
"Lalu, kamu mau bagaimana?"
Pertanyaan sederhana, tetapi jawabannya tak pernah mudah.
Yang harus kupilih bukan sekadar antara "pergi" atau "tinggal". Ini antara keutuhan diriku sendiri atau kenyamanan semu yang sudah lama retak.
Sebagian menyuruhku bertahan:
"Demi anak-anak."
"Namanya juga laki-laki, kadang khilaf."
"Toh dia pulang ke rumah, kan?"
Sebagian lagi menyuruhku pergi:
"Harga dirimu lebih penting."
"Sekali selingkuh, akan selingkuh lagi."
"Jangan habiskan hidup untuk orang yang melukai."
Aku mendengarkan semuanya—suara mereka malah membuatku semakin sunyi.
Yang tak mereka tahu:
Aku pernah membangun mimpi bersamanya. Aku pernah percaya rumah ini bukan sekadar tembok dan atap. Ini tempat paling aman buat keluarga kecil kami. Aku pernah berpikir—apa pun yang terjadi, kami akan saling menggenggam.
Namun, hari itu, aku menggenggam tanganku sendiri. Lalu, untuk pertama kalinya, aku bertanya:
Jika aku bertahan, apakah aku masih bisa merasa utuh?
Melepaskan bukan karena tak cinta. Aku tak ingin mencintai dengan sisa-sisa diriku yang terkikis. Bertahan pun bukan berarti lemah, jika memang itu pilihan sadar yang disertai kejujuran dan kesediaan untuk membangun ulang dari puing-puing yang tersisa.
Satu hal yang kutahu pasti—apa pun pilihannya, aku tak ingin lagi mengkhianati diriku sendiri.