Tanggung Jawab di Balik Kebiasaan Kecil
Di riuhnya kota dan padatnya kesibukan, kita terbiasa mengabaikan yang kecil. Suara klakson lebih keras dari suara hati. Langkah terburu-buru sering menyingkirkan sopan santun.
Namun, di antara keramaian itu, ada anak-anak yang diam-diam memelihara kepekaan. Mereka adalah perwujudan dari kebaikan kecil yang tak pernah padam---tanpa diminta, tanpa disorot.
Anak-anakku, sejak kecil, punya kebiasaan kecil yang jarang disadari orang lain. Saat jalan bersama keluarga atau sahabatnya, mereka tak pernah membuang sampah sembarangan.
Mereka tahu, tak selalu ada tempat sampah di dekat mereka. Namun, mereka juga sadar, bumi ini bukan tempat membuang sembarangan.
Kalau tak menemukan tempat sampah, apa pun kemasan dari makanan atau minuman yang mereka beli, akan mereka simpan di tas. Terkadang mereka bahkan membawa kantong kresek kecil khusus untuk itu.
Bungsuku bercerita, sahabatnya pernah menanyakan kebiasaan itu. Toh, dibuang pun, nanti akan ada yang membersihkan, begitu pendapatnya.
"Kasihan penyapu jalan kalau banyak yang melakukan." Demikian jawab si bungsu. Ia hanya menyadari bahwa di balik bersihnya berbagai tumpukan sampah, ada kerja manusia yang kerap tak terlihat.
Sekarang, sahabatnya justru mengikuti jejak si bungsu, membantu dalam diam, menjaga lingkungan tanpa suara.
Barangkali, kebiasaan kecil ini tak penting buat banyak orang. Namun, bagiku, di sanalah tanggung jawab itu lahir---bukan karena takut dimarahi, melainkan karena tahu apa yang benar.
Tanggung jawab dan kepekaan serupa juga kulihat terwujud di tempat lain yang tak kalah padat.
Kasih di Gerbong yang Padat
Dalam perjalanan naik KRL---tempat di mana ruang begitu terbatas dan waktu berjalan terburu-buru---ketika melihat orang tua, ibu membawa bayi, apalagi ibu hamil berdiri, aku sering menyaksikan mereka memberikan bangkunya tanpa ragu. Bahkan jika mereka tak duduk di bangku prioritas. Tak menunggu aba-aba, tak menunggu permintaan.