Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sapaan Lirih yang Dihargai | Etika Mikro di Ruang Publik #1

8 Juli 2025   12:08 Diperbarui: 8 Juli 2025   18:55 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kadang, satu sapaan lirih bisa memberi arti besar—seolah berkata: aku melihatmu, aku menghargaimu. (Adam Jones/Wikimedia Commons, CC BY-SA 2.0)

Sebuah Sapaan, Sebuah Pengakuan
Pagi itu, matahari baru saja naik, dan aku berjalan melewati trotoar yang masih sepi. Tampak olehku, seorang petugas kebersihan sedang menyapu dedaunan yang gugur semalam.

Tak banyak orang yang memperhatikan, kecuali seorang remaja yang berjalan di depanku. Ia tak membawa ponsel, tak memakai earphone, hanya menoleh sebentar, lalu berkata, "Selamat pagi, Pak," sambil tersenyum kecil.

Petugas itu berhenti sejenak. "Pagi juga," jawabnya pelan, tetapi matanya berbinar.

Langkahku terhenti. Ada sesuatu yang menyentuh dari gestur sederhana itu. Aku dekati si Bapak sambil menyapanya.

"Maaf, Pak. Bapak kenal dengan anak muda tadi?" tanyaku.
Beliau menggeleng. "Enggak kenal, Bu. Kadang saya lihat dia lewat, tapi nggak tahu siapa namanya."

"Tapi tadi dia menyapa Bapak, seperti sudah kenal lama," kataku, ikut tersenyum.
Si Bapak tertawa pelan. "Iya, Bu. Dia emang begitu. Kadang nyapa 'Selamat pagi', kadang 'Sehat-sehat ya, Pak.' Padahal saya pikir anak-anak zaman sekarang cuek semua ..."

"Rasanya gimana, Pak, disapa begitu?"
Beliau terdiam sesaat, lalu menjawab lirih, "Kayak dianggap ada, Bu."

Dalam ruang publik, kita terbiasa mengabaikan mereka yang bekerja dalam diam. Mereka yang menyapu jalanan, menjaga parkir, mengepel lantai di stasiun, memungut gelas bekas di food court.

Mereka hadir setiap hari, menjaga agar ruang hidup kita tetap layak. Namun, sering kali keberadaan mereka hanya jadi latar—nyaris tak terlihat, apalagi disapa.

Satu sapaan, satu anggukan, atau sekadar senyum kecil—bisa jadi pengakuan yang berarti. Bukan karena mereka haus pujian, lebih karena semua manusia ingin diakui keberadaannya.

Terkadang kita berpikir, "Ah, itu hal sepele." Padahal, justru dari gestur sederhana itulah atmosfer ruang publik kita terbentuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun