Sebuah Sapaan, Sebuah Pengakuan
Pagi itu, matahari baru saja naik, dan aku berjalan melewati trotoar yang masih sepi. Tampak olehku, seorang petugas kebersihan sedang menyapu dedaunan yang gugur semalam.
Tak banyak orang yang memperhatikan, kecuali seorang remaja yang berjalan di depanku. Ia tak membawa ponsel, tak memakai earphone, hanya menoleh sebentar, lalu berkata, "Selamat pagi, Pak," sambil tersenyum kecil.
Petugas itu berhenti sejenak. "Pagi juga," jawabnya pelan, tetapi matanya berbinar.
Langkahku terhenti. Ada sesuatu yang menyentuh dari gestur sederhana itu. Aku dekati si Bapak sambil menyapanya.
"Maaf, Pak. Bapak kenal dengan anak muda tadi?" tanyaku.
Beliau menggeleng. "Enggak kenal, Bu. Kadang saya lihat dia lewat, tapi nggak tahu siapa namanya."
"Tapi tadi dia menyapa Bapak, seperti sudah kenal lama," kataku, ikut tersenyum.
Si Bapak tertawa pelan. "Iya, Bu. Dia emang begitu. Kadang nyapa 'Selamat pagi', kadang 'Sehat-sehat ya, Pak.' Padahal saya pikir anak-anak zaman sekarang cuek semua ..."
"Rasanya gimana, Pak, disapa begitu?"
Beliau terdiam sesaat, lalu menjawab lirih, "Kayak dianggap ada, Bu."
Dalam ruang publik, kita terbiasa mengabaikan mereka yang bekerja dalam diam. Mereka yang menyapu jalanan, menjaga parkir, mengepel lantai di stasiun, memungut gelas bekas di food court.
Mereka hadir setiap hari, menjaga agar ruang hidup kita tetap layak. Namun, sering kali keberadaan mereka hanya jadi latar—nyaris tak terlihat, apalagi disapa.
Satu sapaan, satu anggukan, atau sekadar senyum kecil—bisa jadi pengakuan yang berarti. Bukan karena mereka haus pujian, lebih karena semua manusia ingin diakui keberadaannya.
Terkadang kita berpikir, "Ah, itu hal sepele." Padahal, justru dari gestur sederhana itulah atmosfer ruang publik kita terbentuk.