Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebelum Kamu Menyalahkan Diri Sendiri Lagi, Bacalah Ini

6 Juli 2025   14:52 Diperbarui: 6 Juli 2025   22:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terkadang, yang bersuara paling keras menyalahkan bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri. Sunyi, tetapi menyayat. (fkabay on Pixabay)

Terkadang, musuh terberat kita bukan orang lain—tetapi suara kecil di dalam kepala yang tak pernah lelah menyalahkan.

"Kamu harusnya bisa lebih baik."
"Kenapa, sih, kamu selalu gagal?"
"Orang lain aja bisa. Kamu kenapa enggak?"
"Lihat, tuh, mereka. Hidupnya lebih beres."
"Kalau kamu nggak begini, semuanya pasti nggak berantakan."

Suara-suara itu tak berteriak.
Lirih, tetapi menekan
Pelan, tetapi terus-menerus.
Sampai akhirnya kita percaya bahwa memang kitalah masalahnya.

Aku tahu kamu lelah.
Lelah karena merasa tak cukup.
Lelah karena keputusan yang salah.
Lelah karena hasil yang tak sesuai harapan.
Lelah karena kesalahan yang terus kamu ulangi.

Dan ...
Lebih lelah lagi karena kamu tahu—kamu menyalahkan diri sendiri, lagi dan lagi.

Namun, bolehkah aku bilang sesuatu dengan lembut?
Kamu sudah cukup.
Kamu tidak gagal hanya karena hari ini berat.
Kamu bukan kesalahanmu.

Kenapa Kita Begitu Mudah Menyalahkan Diri?
Banyak dari kita tumbuh di lingkungan yang menuntut kesempurnaan. Salah sedikit dicap gagal. Menangis dianggap lemah.

Kita belajar untuk membungkam rasa, bukan merawatnya. Tak heran, jika hari ini, kita begitu cepat menyalahkan diri—karena kita terbiasa dibentuk tanpa ruang untuk salah.

Rasa bersalah itu ... mungkin bukan sinyal untuk dihukum. Ia hanya ingin disembuhkan.

Terkadang, kita terlalu keras pada diri sendiri karena kita terbiasa dituntut sempurna. Kita tumbuh dalam dunia yang memuji hasil, bukan keberanian mencoba.

Kita terlalu sering mengampuni orang lain—tetapi lupa, diri sendiri juga layak dimaafkan.

Rasa bersalah tidak selalu buruk. Ia bisa menuntun pada pertumbuhan. Namun, jika ia membuatmu membenci diri, memaki batinmu, menghukum langkahmu—itu bukan rasa bersalah yang sehat. Itu luka yang belum disembuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun