Terkadang, musuh terberat kita bukan orang lain—tetapi suara kecil di dalam kepala yang tak pernah lelah menyalahkan.
"Kamu harusnya bisa lebih baik."
"Kenapa, sih, kamu selalu gagal?"
"Orang lain aja bisa. Kamu kenapa enggak?"
"Lihat, tuh, mereka. Hidupnya lebih beres."
"Kalau kamu nggak begini, semuanya pasti nggak berantakan."
Suara-suara itu tak berteriak.
Lirih, tetapi menekan
Pelan, tetapi terus-menerus.
Sampai akhirnya kita percaya bahwa memang kitalah masalahnya.
Aku tahu kamu lelah.
Lelah karena merasa tak cukup.
Lelah karena keputusan yang salah.
Lelah karena hasil yang tak sesuai harapan.
Lelah karena kesalahan yang terus kamu ulangi.
Dan ...
Lebih lelah lagi karena kamu tahu—kamu menyalahkan diri sendiri, lagi dan lagi.
Namun, bolehkah aku bilang sesuatu dengan lembut?
Kamu sudah cukup.
Kamu tidak gagal hanya karena hari ini berat.
Kamu bukan kesalahanmu.
Kenapa Kita Begitu Mudah Menyalahkan Diri?
Banyak dari kita tumbuh di lingkungan yang menuntut kesempurnaan. Salah sedikit dicap gagal. Menangis dianggap lemah.
Kita belajar untuk membungkam rasa, bukan merawatnya. Tak heran, jika hari ini, kita begitu cepat menyalahkan diri—karena kita terbiasa dibentuk tanpa ruang untuk salah.
Rasa bersalah itu ... mungkin bukan sinyal untuk dihukum. Ia hanya ingin disembuhkan.
Terkadang, kita terlalu keras pada diri sendiri karena kita terbiasa dituntut sempurna. Kita tumbuh dalam dunia yang memuji hasil, bukan keberanian mencoba.
Kita terlalu sering mengampuni orang lain—tetapi lupa, diri sendiri juga layak dimaafkan.
Rasa bersalah tidak selalu buruk. Ia bisa menuntun pada pertumbuhan. Namun, jika ia membuatmu membenci diri, memaki batinmu, menghukum langkahmu—itu bukan rasa bersalah yang sehat. Itu luka yang belum disembuhkan.