Luka Tanpa Kepastian
Awalnya, semuanya terasa ringan. Obrolan mengalir setiap hari, candaan kecil, sapaan pagi, bahkan percakapan panjang di malam yang sepi. Tidak pernah ada deklarasi, tetapi kehadirannya cukup untuk membuatmu percaya bahwa kalian saling ada.
Lalu, perlahan semuanya berubah—tanpa penjelasan, tanpa pertengkaran. Pesanmu mulai dijawab singkat, kadang hanya dengan emoji.
Ia masih sesekali menyisakan jejak digital: menonton story, menyukai unggahan. Namun, ia tak lagi benar-benar hadir dalam obrolan dan kehidupanmu. Sebuah harapan samar yang ia lemparkan agar kamu percaya ia belum benar-benar pergi, meski sudah tak lagi tinggal.
Kamu tidak bisa marah, karena ia tidak benar-benar menghilang. Tapi kamu juga tidak bisa bertahan, karena tak ada lagi yang bisa dipegang.
Inilah yang disebut soft ghosting—penghilangan yang tak kentara, tetapi menyisakan luka yang nyata.
Soft ghosting bukan sekadar hilang. Ia adalah bentuk kehadiran palsu, di mana seseorang terus memberi sinyal bahwa mereka "masih di sana" tanpa komitmen apa pun.
Bagi yang ditinggalkan, ini adalah bentuk penolakan yang membingungkan: menggantung tanpa kabar, menyakitkan, tetapi tak bisa disebut sebagai kesalahan terang-terangan.
Menghindar, Tetapi Tak Ingin Disalahkan
Mengapa seseorang memilih soft ghosting? Jawabannya tidak selalu sederhana, tetapi seringkali berakar pada satu hal: menghindar tanpa merasa bersalah.
Di zaman ketika seen dianggap cukup sebagai bentuk interaksi, batas antara hadir dan absen jadi kabur. Ada yang tidak nyaman bicara jujur, ada yang takut menyakiti hati, dan ada pula yang memang tak ingin terlibat lebih jauh, tetapi juga enggan sepenuhnya pergi.
Mereka lebih memilih jalan tengah yang terlihat aman: tetap memberi "tanda kehidupan", tetapi tak lagi membuka ruang koneksi yang sejati. Memberi like pada unggahanmu, menanggapi dengan emoji, sesekali menyapa tanpa kedalaman. Seolah-olah berkata, "Aku masih peduli," padahal tak sungguh-sungguh ingin membangun hubungan kembali.