Disiplin: anak perlu belajar konsekuensi dari setiap perbuatan.
Empati: anak perlu diajak memahami perasaan orang lain dan menimbang tindakannya.
Ketika keduanya berpadu, lahirlah pribadi yang bukan hanya taat aturan karena takut hukuman, tetapi juga memilih kebaikan karena mencintai sesama.
4. Refleksi Diri sebagai Pilar Moralitas
Salah satu tradisi Muhammad sebelum kenabian adalah menyendiri di Gua Hira. Di sana ia merenung, mengamati, dan mencari makna. Dari sinilah lahir kesadaran spiritual yang mendalam.
Hari ini, kita menyebutnya refleksi diri atau metakognisi---kemampuan melihat ke dalam diri, mengevaluasi pikiran dan perasaan, serta menemukan arah hidup. Pendidikan moral modern sering kali sibuk menjejalkan pengetahuan, tetapi lupa memberi ruang untuk anak merenung. Padahal, di dalam hening, kesadaran moral bisa tumbuh lebih kokoh.
5. Pendidikan Moral sebagai Jalan Hidup
Muhammad tidak pernah memisahkan moralitas dari kehidupan sehari-hari. Ia hadir dalam cara beliau berdagang, dalam cara beliau berkeluarga, dalam cara beliau memimpin. Moralitas baginya bukan "pelajaran" terpisah, melainkan napas kehidupan.
Maka, pendidikan moral ala Muhammad hari ini harus dibawa keluar dari ruang kelas, ke dalam rumah, jalanan, pasar, media sosial, dan ruang publik. Moralitas baru hidup ketika ia menjadi budaya sehari-hari, bukan sekadar materi pelajaran.
Jalan Menuju Moralitas Universal
Jika kita sandingkan dengan teori perkembangan moral modern, pendidikan ala Muhammad membawa anak dari sekadar takut hukuman menuju cinta pada kebaikan. Dari ketaatan konvensional menuju kesadaran universal. Dari aturan menuju rahmah.