Dalam bahasa sederhana: Muhammad mengajarkan bahwa moralitas bukan hanya soal aturan, tetapi soal hati. Ia bukan sekadar apa yang benar menurut teks, tetapi apa yang indah bagi kemanusiaan.
Maka, ketika kita membaca Sirah Nabi, kita sesungguhnya sedang membaca peta moralitas universal. Dari kejujuran seorang pedagang, ketegasan seorang hakim, kelembutan seorang ayah, hingga pemaafan seorang pemenang---semua berpadu dalam diri Muhammad.
Warisan terbesar beliau bukan hanya Al-Qur'an yang kita baca, tetapi akhlak yang hidup, yang bisa diteladani setiap hari. Dan inilah pesan yang selalu segar: jika dunia hari ini haus akan keadilan, cinta, dan rekonsiliasi, maka moralitas Muhammad adalah jawaban yang tak lekang oleh waktu.
Moralitas Muhammad dalam Pandangan Teori Perkembangan Moral Modern
Para psikolog modern, seperti Lawrence Kohlberg, berpendapat bahwa moralitas manusia berkembang melalui tahapan tertentu. Dari sekadar patuh karena takut hukuman, hingga sampai pada kesadaran universal tentang keadilan. Teori ini memberikan kerangka untuk memahami bagaimana manusia bergerak dari moralitas instingtif menuju moralitas reflektif.
1. Kohlberg dan Moralitas Nabi
Kohlberg membagi perkembangan moral ke dalam enam tahap dalam tiga level besar: pre-konvensional, konvensional, dan post-konvensional.
Tahap awal (pre-konvensional): manusia berbuat baik atau buruk karena takut dihukum atau ingin hadiah.
Tahap konvensional: manusia taat pada norma sosial, hukum, dan harapan kelompok.
Tahap puncak (post-konvensional): manusia menimbang dengan prinsip keadilan universal, di atas hukum positif.
Jika kita membaca sirah Nabi, kita melihat bahwa moralitas Muhammad konsisten berada di tahap tertinggi sejak awal kenabiannya.