Saat beliau menolak kompromi Quraisy yang menawarkan kekayaan dan kekuasaan asal berhenti berdakwah, itu bukan keputusan berdasarkan norma sosial (yang justru mendesak beliau menyerah), melainkan prinsip universal: tauhid dan keadilan tidak bisa ditukar dengan materi.
Saat beliau menegakkan hukum terhadap kerabat sendiri, itu mencerminkan moralitas universal yang mengatasi loyalitas kesukuan.
Saat beliau memaafkan musuh dalam Fathu Makkah, itu adalah puncak moralitas post-konvensional: memilih rekonsiliasi atas dasar prinsip kemanusiaan, bukan demi keuntungan politik.
Dengan bahasa Kohlberg, moralitas Nabi sudah melampaui hukum sosial jahiliyah dan bahkan melampaui norma konvensional masyarakatnya. Beliau hidup dalam horizon moralitas universal.
2. Gilligan dan Etika Kepedulian Nabi
Carol Gilligan, murid sekaligus pengkritik Kohlberg, menambahkan dimensi lain: ethics of care (etika kepedulian). Ia menekankan bahwa moralitas tidak hanya soal prinsip keadilan universal, tetapi juga soal kasih sayang, empati, dan relasi.
Moralitas Nabi justru memadukan keduanya.
Keadilan beliau tegakkan tanpa pandang bulu.
Kasih sayang beliau tebarkan bahkan pada musuh yang menyakitinya.
Contoh kecil yang indah: ketika seorang anak kecil bersedih karena kehilangan burung peliharaannya, Nabi datang menghiburnya. Itu bukan tindakan hukum, bukan pula politik---melainkan kepedulian tulus yang menyentuh sisi terdalam kemanusiaan.
Dengan teori Gilligan, kita bisa melihat bahwa Muhammad menghidupi ethics of justice sekaligus ethics of care. Inilah yang membuat moralitasnya seimbang: tegas dalam prinsip, lembut dalam relasi.