Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Selalu Mesti Ada Kamera?

8 Agustus 2025   08:23 Diperbarui: 7 Agustus 2025   20:33 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenapa harus selalu ada kamera? (diana.grytsku/freepik) 

Pernahkah Anda melihat seseorang sedang membantu orang lain---misalnya membagikan nasi bungkus di pinggir jalan---tapi ada yang terasa janggal? Bukan pada tindakan memberi itu sendiri, tapi pada cara semuanya seolah disutradarai. Ada kamera yang merekam dari sudut tertentu. Ada ekspresi yang tampak seperti "mencari angle terbaik". Lalu dalam hitungan jam, muncul video dengan transisi halus, musik menyentuh, dan caption: "Bukan tentang seberapa banyak yang kamu beri, tapi seberapa tulus."

Dan Anda mulai bertanya-tanya dalam hati: tulus... atau akting?

Sekarang ini, hampir semua momen terekam. Kamera ada di mana-mana. Di saku, di dashboard mobil, di langit-langit ruangan. Kamera bukan lagi alat dokumentasi, tapi semacam pengamat tetap dalam hidup kita. Merekam, menilai, menyimpan, dan---yang paling berpengaruh---mempengaruhi cara kita bersikap.

Tapi pertanyaannya bukan cuma "kenapa direkam?", tapi: apa yang terjadi pada diri kita ketika tahu sedang direkam? Atau lebih dalam lagi: apa yang membuat kita merasa harus tampil?

Naluri Panggung dalam Diri Manusia

Dalam psikologi sosial, ada konsep yang disebut dramaturgi oleh Erving Goffman. Ia menjelaskan kalau kehidupan sosial kita itu mirip pertunjukan teater. Di hadapan orang lain, kita bermain peran, menyusun kata, menata ekspresi. Ada panggung depan (public), dan ada panggung belakang (private) yang cuma diketahui sedikit orang.

Nah, kehadiran kamera membuat panggung depan jadi nyata. Semua momen bisa jadi pertunjukan. Bahkan momen yang sebenarnya sakral dan pribadi.

Contohnya begini. Seorang teman kehilangan ayahnya. Saat di pemakaman, ia sedang menangis. Lalu ada saudara yang merekam, mengunggah ke media sosial dengan caption: "Tetap kuat ya, dek. Ayahmu pasti bangga." Tentu maksudnya baik. Tapi apakah tangisan itu memang untuk ayahnya... atau untuk kamera?

Kamera mengubah ruang batin jadi ruang tontonan. Tanpa sadar, kita mulai menata emosi bukan cuma supaya bisa dihayati, tapi supaya bisa terlihat baik di layar.

Padahal, dalam Islam, ada satu prinsip penting dalam amal: niat.

"Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya."

(HR. Bukhari & Muslim)

Kalau niat mulai bercampur antara ingin berbagi dan ingin dipuji, maka kualitas amal pun ikut berubah. Amal bisa tetap ada, tapi ruhnya melemah. Dan sayangnya, yang tahu niat itu cuma Allah---dan diri kita sendiri.

Dilema: Tulus atau Strategis?

Di zaman ini, mungkin bukan cuma niat yang rumit. Tapi juga cara orang menilai ketulusan.

Misalnya, seorang relawan membantu korban bencana dan sambil membawa kamera. Ia memang berniat menginspirasi orang lain untuk ikut bantu. Tapi akhirnya yang muncul di kolom komentar adalah:

"Ini beneran niat nolong atau cari konten?"

Membagikan kebaikan itu penting. Tapi membagikan dokumentasi kebaikan bisa mengandung jebakan. Sebab ada batas tipis antara sharing dan showing off. Bahkan bisa masuk ke wilayah virtue signaling---yaitu saat seseorang menunjukkan nilai moralnya ke publik, lebih untuk mendapat pengakuan ketimbang menginspirasi.

Dan ini bukan sekadar teori. Ada studi dari University of Pennsylvania yang menunjukkan kalau ketika seseorang melihat orang lain posting kegiatan amal, mereka cenderung lebih skeptis terhadap motivasi orang itu. Apalagi kalau gayanya terlalu diperlihatkan.

Di sisi lain, ada orang yang benar-benar tulus, tapi jadi enggan berbagi kebaikan karena takut dikira pencitraan.

Akhirnya... serba salah.

Tapi mungkin di sinilah letak tantangannya. Kalau niat kita benar, dan cara menyampaikannya bijak, semoga Allah menilai usaha itu dengan rahmat-Nya. Tapi kalau kita mulai merasa tidak nyaman tanpa kamera, mungkin sudah saatnya kita bertanya:

Saya melakukan ini karena Allah... atau karena ingin dilihat manusia?

Kamera Sebagai Alat Ancaman

Mari lihat sisi lain yang lebih gelap dari kamera.

Dulu, orang pakai kamera untuk dokumentasi. Menyimpan kenangan. Tapi sekarang, kamera bisa jadi alat tekanan. Alat ancaman. Alat pembunuh reputasi.

Misalnya begini. Seorang kasir ditegur pembeli karena lupa memberi sedotan. Pembelinya marah. Merekam. Mengunggah. Dan dalam sehari, kasir itu viral dengan judul: "Pelayanan Terburuk Sepanjang Sejarah!" Padahal, ia cuma lupa memberi sedotan.

Yang terjadi kemudian: tekanan dari atasan, cibiran dari netizen, bahkan bisa kehilangan pekerjaan.

Kamera menjadi senjata sosial. Orang direkam tanpa izin, dikomentari tanpa empati, dan dihukum tanpa keadilan.

Dalam Islam, kehormatan seseorang dijaga seperti nyawa.

"Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat."

(HR. Muslim)

Tapi di zaman kamera, orang lebih cepat menekan "rekam" ketimbang berpikir: "Apa ini akan menyakiti orang lain?"

Fenomena ini juga punya istilah dalam sosiologi: surveillance culture. Masyarakat jadi saling mengawasi, saling merekam, saling mengadili. Dunia terasa seperti panggung besar tanpa tempat bersembunyi.

Kenapa Harus Dibagikan? Tidak Bisa Disimpan Sendiri Saja?

Pertanyaan ini terasa sederhana, tapi dalam sekali.

Kenapa tidak cukup kalau momen itu cuma disimpan di hati? Kenapa harus diposting, dikomentari, dinilai?

Jawabannya bisa bermacam-macam. Kadang karena ingin dikenang. Kadang karena ingin diakui. Kadang karena takut dilupakan.

Di sinilah peran media sosial memperkuat kebutuhan manusia akan validasi eksternal. Kita tidak merasa "cukup" cuma dengan mengalami sesuatu. Kita merasa harus menunjukkannya supaya diakui kalau itu "bernilai".

Padahal, kalau dilihat dari sisi psikologi Islam, nilai amal itu justru semakin besar ketika ia tidak diketahui orang lain. Karena di situlah letak keikhlasan.

"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (hatinya), dan yang tersembunyi."

(HR. Muslim)

Artinya: bukan cuma amal yang besar, tapi juga yang tersembunyi, itu yang dicintai Allah.

Bayangkan kalau Anda membantu seseorang tanpa satu pun yang tahu. Tidak ada yang merekam. Tidak ada yang berterima kasih. Tapi Allah tahu. Dan bukankah itu lebih menenangkan?

Saat Kamera Membentuk Identitas

Ada fenomena menarik dalam filsafat eksistensial modern: manusia sekarang lebih banyak menjadi apa yang terlihat, bukan menjadi apa yang dijalani. Jean Baudrillard, misalnya, menyebut kita hidup dalam era simulacra---di mana citra lebih penting dari kenyataan itu sendiri.

Orang bukan lagi menjadi baik, tapi terlihat baik. Bukan lagi bahagia, tapi terlihat bahagia.

Coba Anda lihat sekeliling. Ada yang mengedit wajahnya berulang kali sebelum posting. Ada yang pura-pura dekat dengan teman demi konten. Bahkan ada yang menangis... lalu berhenti sebentar untuk memastikan kameranya fokus.

Semua ini bukan hal sepele. Karena kalau dilakukan terus-menerus, kita bisa kehilangan diri sendiri.

Menjaga Amal dari Sorotan Kamera

Bukan berarti semua dokumentasi itu salah. Tentu tidak. Ada banyak konten yang menginspirasi, menggerakkan, bahkan menyelamatkan hidup orang.

Tapi tetap perlu tanya ke diri sendiri: apa tujuannya?

Kalau memang ingin mengedukasi, pastikan caranya tidak melukai. Kalau memang ingin menyentuh hati, pastikan tidak memaksa ekspresi. Dan kalau memang ingin berbagi, pastikan tidak semua harus diviralkan.

Anda tetap bisa merekam, tapi tak harus selalu membagikan. Anda bisa menyimpan sebagian kebaikan untuk menjadi rahasia indah antara Anda dan Tuhan.

Karena seperti kata Imam Al-Ghazali:

"Jadikanlah antara dirimu dan Allah amal yang tersembunyi, sebagaimana engkau menyembunyikan aibmu dari manusia."

Lalu, Bagaimana Cara Membedakan Tulus dan Settingan?

Jawabannya: sulit.

Karena niat ada di dalam hati. Dan kita bukan hakim niat.

Tapi setidaknya ada beberapa tanda yang bisa kita perhatikan:

1.Apakah ekspresinya terasa dibuat-buat?

Mata manusia punya intuisi tajam. Kadang kita bisa tahu ketika tangisan itu "untuk kamera".

2.Apakah semua momen baik selalu diposting?

Orang yang tulus biasanya menyimpan sebagian. Karena ia tahu: tidak semua harus dilihat.

3.Apakah ada kepekaan terhadap privasi orang lain?

Kalau seseorang merekam orang lain tanpa izin, bahkan dalam kondisi rentan---itu sudah mengkhawatirkan.

4.Apakah isi kontennya lebih banyak soal diri sendiri?

Amal yang ikhlas biasanya tidak dipenuhi kalimat: "Aku yang memberi, aku yang hadir, aku yang mengubah."

Tapi tetap saja... yang paling tahu adalah Allah. Maka lebih baik fokus menjaga niat sendiri daripada sibuk menilai niat orang lain.

Refleksi di Zaman Kamera

Zaman sekarang memang menantang. Antara ingin berdakwah tapi takut disebut cari muka. Ingin memberi tapi takut dibilang pamer. Ingin rekam momen indah tapi takut niatnya jadi rusak.

Tapi di situlah ladang keikhlasan diuji.

Dan kadang, Allah menutup pintu popularitas supaya Anda bisa lebih tenang dalam ibadah. Kadang Allah menyembunyikan amal supaya Anda bisa lebih ikhlas dalam memberi. Karena bisa jadi, amal yang tak pernah masuk kamera... justru yang paling dicintai-Nya.

Akhirnya, yang perlu ditanya bukan hanya: "kenapa direkam?", tapi:

apakah saya masih bisa berbuat baik... kalau tidak ada yang melihat?

Dan yang lebih penting:

apakah saya masih merasa cukup... kalau cuma Allah yang tahu?

Kalau Anda merasa pertanyaan-pertanyaan ini menggugah, mungkin sekarang saatnya berhenti sejenak. Tarik napas. Tutup kamera. Dan rasakan heningnya amal yang benar-benar rahasia.

Karena tidak semua harus ditonton. Tidak semua harus ditunjukkan. Dan tidak semua harus diviralkan.

Cukup Anda. Dan Allah.

Itu pun... sudah lebih dari cukup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun