Mari lihat sisi lain yang lebih gelap dari kamera.
Dulu, orang pakai kamera untuk dokumentasi. Menyimpan kenangan. Tapi sekarang, kamera bisa jadi alat tekanan. Alat ancaman. Alat pembunuh reputasi.
Misalnya begini. Seorang kasir ditegur pembeli karena lupa memberi sedotan. Pembelinya marah. Merekam. Mengunggah. Dan dalam sehari, kasir itu viral dengan judul: "Pelayanan Terburuk Sepanjang Sejarah!" Padahal, ia cuma lupa memberi sedotan.
Yang terjadi kemudian: tekanan dari atasan, cibiran dari netizen, bahkan bisa kehilangan pekerjaan.
Kamera menjadi senjata sosial. Orang direkam tanpa izin, dikomentari tanpa empati, dan dihukum tanpa keadilan.
Dalam Islam, kehormatan seseorang dijaga seperti nyawa.
"Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat."
(HR. Muslim)
Tapi di zaman kamera, orang lebih cepat menekan "rekam" ketimbang berpikir: "Apa ini akan menyakiti orang lain?"
Fenomena ini juga punya istilah dalam sosiologi: surveillance culture. Masyarakat jadi saling mengawasi, saling merekam, saling mengadili. Dunia terasa seperti panggung besar tanpa tempat bersembunyi.
Kenapa Harus Dibagikan? Tidak Bisa Disimpan Sendiri Saja?
Pertanyaan ini terasa sederhana, tapi dalam sekali.