(HR. Bukhari & Muslim)
Kalau niat mulai bercampur antara ingin berbagi dan ingin dipuji, maka kualitas amal pun ikut berubah. Amal bisa tetap ada, tapi ruhnya melemah. Dan sayangnya, yang tahu niat itu cuma Allah---dan diri kita sendiri.
Dilema: Tulus atau Strategis?
Di zaman ini, mungkin bukan cuma niat yang rumit. Tapi juga cara orang menilai ketulusan.
Misalnya, seorang relawan membantu korban bencana dan sambil membawa kamera. Ia memang berniat menginspirasi orang lain untuk ikut bantu. Tapi akhirnya yang muncul di kolom komentar adalah:
"Ini beneran niat nolong atau cari konten?"
Membagikan kebaikan itu penting. Tapi membagikan dokumentasi kebaikan bisa mengandung jebakan. Sebab ada batas tipis antara sharing dan showing off. Bahkan bisa masuk ke wilayah virtue signaling---yaitu saat seseorang menunjukkan nilai moralnya ke publik, lebih untuk mendapat pengakuan ketimbang menginspirasi.
Dan ini bukan sekadar teori. Ada studi dari University of Pennsylvania yang menunjukkan kalau ketika seseorang melihat orang lain posting kegiatan amal, mereka cenderung lebih skeptis terhadap motivasi orang itu. Apalagi kalau gayanya terlalu diperlihatkan.
Di sisi lain, ada orang yang benar-benar tulus, tapi jadi enggan berbagi kebaikan karena takut dikira pencitraan.
Akhirnya... serba salah.
Tapi mungkin di sinilah letak tantangannya. Kalau niat kita benar, dan cara menyampaikannya bijak, semoga Allah menilai usaha itu dengan rahmat-Nya. Tapi kalau kita mulai merasa tidak nyaman tanpa kamera, mungkin sudah saatnya kita bertanya:
Saya melakukan ini karena Allah... atau karena ingin dilihat manusia?