Mobil MPV adalah pemandangan yang tak terhindarkan. Mobil ini mendominasi jalanan di mana-mana. Ia terlihat dari Sabang sampai Merauke. Ia memenuhi lalu lintas padat di kota. Ia juga ada di jalanan desa lengang.Â
Banyak orang menyimpulkan MPV mobil idaman. Mobil ini cerminan budaya kekeluargaan kita. Namun apakah popularitasnya murni karena cinta? Ataukah ini cerita kebutuhan yang mendesak?Â
Cerita tentang pilihan yang sangat terbatas? Mungkin jawabannya lebih kompleks dari kelihatannya.
Banyak keluarga Indonesia membeli mobil MPV. Keputusan ini bukan karena kemewahan semata. Ini adalah sebuah respons yang sangat logis. Mereka merespons kondisi nyata di lapangan.Â
Bayangkan keluarga menengah punya beberapa anak. Rutinitas harian mereka sangatlah padat. Mereka harus mengantar anak ke sekolah. Mereka juga harus berbelanja kebutuhan pokok. Mereka mengunjungi orang tua di akhir pekan.Â
Di sinilah letak masalah utamanya. Transportasi publik kita masih menjadi masalah. Kajian (Jurnal Unisia, 2012) juga mengakuinya.Â
Sistem itu belum mampu menopang mobilitas. Terutama mobilitas untuk sebuah keluarga.Â
Jadwal angkutan umum sering tidak pasti. Rutenya pun masih sangat terbatas. Kenyamanan dan keamanannya juga masih kurang. Bepergian dengan anak menjadi sangat sulit. Bepergian dengan lansia juga tidak mudah.Â
Akibatnya, keluarga mencari solusi secara mandiri. MPV hadir sebagai jawaban paling praktis. Mobil ini punya kapasitas tujuh penumpang. Ruang bagasinya juga sangat lapang.Â
Ia menjadi solusi tunggal transportasi keluarga. Orang tidak memilihnya karena cinta desainnya. Mereka memilihnya karena ini alat efisien. Alat untuk bertahan dalam mobilitas harian.
Faktor kedua juga tidak kalah penting. Faktor ini adalah kekuatan ekosistem pabrikan. Kekuatan ini sering jadi penentu utama.Â