Kenapa tidak cukup kalau momen itu cuma disimpan di hati? Kenapa harus diposting, dikomentari, dinilai?
Jawabannya bisa bermacam-macam. Kadang karena ingin dikenang. Kadang karena ingin diakui. Kadang karena takut dilupakan.
Di sinilah peran media sosial memperkuat kebutuhan manusia akan validasi eksternal. Kita tidak merasa "cukup" cuma dengan mengalami sesuatu. Kita merasa harus menunjukkannya supaya diakui kalau itu "bernilai".
Padahal, kalau dilihat dari sisi psikologi Islam, nilai amal itu justru semakin besar ketika ia tidak diketahui orang lain. Karena di situlah letak keikhlasan.
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (hatinya), dan yang tersembunyi."
(HR. Muslim)
Artinya: bukan cuma amal yang besar, tapi juga yang tersembunyi, itu yang dicintai Allah.
Bayangkan kalau Anda membantu seseorang tanpa satu pun yang tahu. Tidak ada yang merekam. Tidak ada yang berterima kasih. Tapi Allah tahu. Dan bukankah itu lebih menenangkan?
Saat Kamera Membentuk Identitas
Ada fenomena menarik dalam filsafat eksistensial modern: manusia sekarang lebih banyak menjadi apa yang terlihat, bukan menjadi apa yang dijalani. Jean Baudrillard, misalnya, menyebut kita hidup dalam era simulacra---di mana citra lebih penting dari kenyataan itu sendiri.
Orang bukan lagi menjadi baik, tapi terlihat baik. Bukan lagi bahagia, tapi terlihat bahagia.
Coba Anda lihat sekeliling. Ada yang mengedit wajahnya berulang kali sebelum posting. Ada yang pura-pura dekat dengan teman demi konten. Bahkan ada yang menangis... lalu berhenti sebentar untuk memastikan kameranya fokus.