Kita hidup di zaman ketika ukuran keberhasilan sering kali direduksi menjadi angka. Nilai kekayaan, saldo rekening, aset properti, atau simbol gaya hidup mewah seakan menjadi parameter tunggal yang menilai apakah seseorang pantas disebut berhasil atau tidak. Di banyak ruang publik, dari perbincangan keluarga sampai linimasa media sosial, ukuran ini begitu dominan. Orang yang kaya sering otomatis disebut sukses, sedangkan mereka yang biasa-biasa saja cenderung dianggap tertinggal.
Namun, benarkah keberhasilan bisa disempitkan hanya pada satu dimensi bernama kekayaan?Â
Lebih Kaya, Lebih Bahagia?
Kekayaan tentu penting. Tidak bisa dipungkiri bahwa uang mampu memberikan rasa aman, memenuhi kebutuhan dasar, dan membuka banyak peluang. Dengan uang, seseorang bisa mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan berkualitas, dan akses terhadap berbagai kenyamanan hidup. Dari perspektif ini, wajar jika kekayaan sering dianggap sebagai simbol keberhasilan.
Namun, apakah uang benar-benar membuat hidup lebih bahagia? Banyak penelitian di bidang psikologi menunjukkan bahwa hubungan antara kekayaan dan kebahagiaan tidaklah linear. Misalnya, sebuah studi dari Daniel Kahneman dan Angus Deaton menemukan bahwa kebahagiaan memang meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan, tetapi hanya sampai titik tertentu. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi dan sedikit kenyamanan tambahan tercapai, peningkatan penghasilan tidak lagi signifikan dalam meningkatkan kebahagiaan seseorang.
Kaya bisa memberi pilihan, tetapi tidak menjamin rasa damai. Ketika seseorang terjebak dalam pola pikir bahwa bahagia hanya datang dari uang, ia cenderung terperangkap dalam lingkaran tidak pernah cukup. Setiap pencapaian finansial melahirkan target baru yang lebih tinggi. Hidup pun berubah menjadi perlombaan tanpa garis akhir.
Definisi Keberhasilan yang Terlalu Sempit
Mengukur keberhasilan hanya dari harta benda sama saja dengan menyederhanakan kompleksitas hidup manusia. Bayangkan seorang guru di desa yang gajinya jauh dari kata besar, tetapi ia berhasil menginspirasi generasi muda untuk bermimpi dan belajar. Dalam kacamata finansial, mungkin ia bukan siapa-siapa. Namun, dalam kacamata sosial dan moral, ia jelas seorang pahlawan.
Fenomena serupa bisa kita lihat pada banyak profesi lain. Relawan kemanusiaan, seniman independen, aktivis lingkungan, atau bahkan seorang ibu rumah tangga yang membesarkan anak dengan penuh dedikasi. Apakah mereka gagal hanya karena tidak kaya raya? Tentu tidak. Tetapi standar masyarakat yang sempit sering kali menempatkan mereka dalam posisi terpinggirkan.
Kesempitan definisi keberhasilan inilah yang menciptakan tekanan sosial besar. Banyak anak muda merasa harus mengejar profesi tertentu hanya demi status sosial, meski sebenarnya tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka. Akibatnya, lahirlah generasi yang bekerja bukan karena cinta, melainkan karena tuntutan. Mereka mungkin sukses secara materi, tetapi kehilangan makna hidup.