Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Susah Melihat Orang Senang, dan Senang Melihat Orang Susah

4 Agustus 2025   08:35 Diperbarui: 3 Agustus 2025   18:39 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susah melihat orang senang (benzoix/freepik) 

Ada rasa yang sulit dijelaskan. Ia datang diam-diam, menyelinap tanpa permisi, lalu tinggal lama tanpa diundang. Rasanya bukan iri, tapi dekat. Bukan benci, tapi getir. Ketika melihat seseorang tersenyum karena rezekinya melimpah, prestasinya naik, atau hidupnya tampak utuh, kenapa justru dada terasa sempit? Lalu ketika mendengar kabar seseorang gagal, bangkrut, atau kehilangan sesuatu yang ia banggakan, mengapa hati terasa sedikit... lega?

Fenomena ini bukan hal asing. Mungkin pernah dirasakan diam-diam, tanpa diungkap, cuma disimpan sebagai kegelisahan batin. Tapi kalau mau jujur, ini bukan cuma perasaan sesaat. Ini adalah isyarat dari sesuatu yang lebih dalam---keretakan kecil dalam hubungan antara dirimu dan takdir yang ditetapkan untuk orang lain.

Mari duduk sejenak bersama pertanyaan-pertanyaan ini. Tak perlu tergesa menjawab. Cukup izinkan diri untuk merasa, merenung, dan perlahan-lahan menyelami ruang dalam hati yang selama ini mungkin cuma dilalui begitu saja.

Ketika Kebahagiaan Orang Lain Menjadi Ancaman

Ada istilah dalam psikologi sosial yang disebut schadenfreude --- kesenangan yang muncul ketika melihat orang lain menderita. Ada pula envy --- rasa tidak nyaman yang muncul ketika orang lain punya sesuatu yang kamu inginkan. Tapi yang lebih mengusik adalah ketika dua hal ini hadir begitu spontan. Ketika seseorang mendapatkan promosi kerja, wajahmu tersenyum, tapi hati menegang. Ketika seseorang jatuh dari posisi yang dulu dibanggakannya, ada bagian dalam dirimu yang merasa seolah keadilan telah datang.

Fenomena ini bukan semata kelemahan karakter. Ia seringkali muncul sebagai hasil dari banyak luka batin, narasi-narasi hidup yang belum selesai, dan persepsi sempit tentang makna kebahagiaan serta keadilan. Dunia hari ini begitu cepat membandingkan. Melalui media sosial, kamu disuguhkan pencapaian orang lain setiap hari---tanpa filter. Semakin banyak yang tampak bahagia, semakin muncul rasa kalau kamu sedang tertinggal. Padahal, tidak ada garis start dan finish dalam hidup ini yang bisa dibandingkan.

Rasulullah pernah bersabda:

"Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengki, dalam hadits ini, tidak disebut sebagai hal kecil. Ia disejajarkan dengan kebencian dan permusuhan. Kenapa? Karena dengki merusak hubungan bukan cuma antar manusia, tapi juga antara dirimu dengan Allah.

Akarnya Bukan Di Orang Lain, Tapi Di Dalam Diri

Mudah untuk menyalahkan orang lain. Mereka pamer, mereka sombong, mereka tidak tahu diri. Tapi benarkah begitu? Atau sebenarnya, rasa sakit itu bukan karena apa yang mereka tunjukkan, tapi karena ada luka dalam dirimu yang belum sembuh?

Kadang, kamu tidak cemburu pada rezeki orang lain. Kamu cemburu karena kamu belum berdamai dengan perjalananmu sendiri. Kamu tidak benar-benar ingin mereka jatuh. Kamu cuma ingin rasa tertinggal itu hilang. Kamu cuma ingin merasa cukup, tapi belum tahu caranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun